REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Koordinator KontraS, Feri Kusuma, mengatakan, rancangan peraturan presiden (Perpres) pelibatan TNI dalam kontraterorisme bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi yang dicanangkan pada 2015. Dia melihat hal itu dari tiga fungsi TNI dalam rancangan Perpres tersebut yang berpotensi menyebabkan tumpang tindih wewenang.
"Dari aspek reformasi birokrasi TNI sendiri, yang dicanangkan pada 2015 dan agendanya itu sampai tahun 2025, itu juga bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi," ujar Feri dalam webinar "Pelibatan TNI dalam Kontraterorisme" yang digelar LPPSP Universitas Indonesia dengan Marapi Consulting & Advisory, Selasa (17/11).
Salah satu agenda reformasi birokrasi terkait tumpang tindih tugas dan fungsi. Menurut dia, fungsi pencegahan, penindakan, dan pemulihan yang ada di dalam rancangan Perpres itu berpotensi tumpang tindih dengan tugas dan fungsi lembaga negara lain seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
"Masalahnya, di dalam pemerintahan saat ini masih ada orang-orang (yang) paradigmanya itu menyeret kembali imajinasi kita ke era sebelum 98, ingin menyeret kembali, memberikan peran kepada TNI seperti ketika sebelum 98. Ketika belum ada pemisahan antara badan-badan pemerintah," kata dia.
Menurutnya, kalaupun rancangan Perpres itu tetap dipaksakam untuk dibuat sebagai bentuk delegasi dari UU Nomor 5 Tahun 2018 maka tugas TNI harus diperjelas. Dia memberi masukan, yakni TNI semestinya cukup diberikan fungsi penindakan. Dalam pelaksanaan fungsi itu pun harus jelas langkah operasional penindakannya.
"Kapan, dalam waktu seperti apa dengan ekslakasi bagaimana TNI itu dilibatkan dalam penindakan. Itu harus jelas. Jadi harus dirinci lebih operasional dalam rancangan Perpres ini. Itu yang harus diatur lebih jauh supaya tidak berdampak pada persoalan-persoalan lain," kata dia.
Sebelumnya, Akademisi dan Peneliti Marapi Consulting & Advisory Bidang Keamanan dan Pertahanan, Beni Sukadis, pada kesempatan yang sama menyampaikan, fungsi penangkalan yang ada dalam Perpres itu rancu. Aturan itu juga berpotensi terjadinya tumpang tindih dalam proses pelaksanaannya.
"Menurut saya salah satu ayat ini terutama fungsi penangkalan sangat rancu dan ini bisa tumpang tindih," kata Beni, Jumat (23/10).
Beni menerangkan, salah satu operasi yang dilakukan dalam fungsi penangkalan itu adalah operasi intelejen. Operasi intelijen sudah dilakukan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) yang bertugas sebagai agen intelijen nasional yang memiliki fungsi memasok analusa dan intelijen terhadap kelompok-kelompok yang dicurigai.
"BIN sebagai agen intelijen nasional yang punya fungsi pemasokan analisa dan intelijen terhadap kelompok-kelompok yang dicurigai dan ini juga bisa tunpang tindih dengan polisi, terutama Densus 88," kata dia.