REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Muhammad Damis menolak permintaan penangguhan penahanan terdakwa penghapusan red notice Irjen Napoleon Bonaparte. Pada persidangan sebelumnya, penasihat hukum Napoleon meminta penangguhan tersebut.
"Sehubungan dengan permintaan soal penangguhan penahanan untuk sementara majelis belum dapat pertimbangkan permohonan tersebut," kata Hakim Damis di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (16/11).
Menanggapi penolakan tersebut, penasihat hukum Napoleon, Santrawan Paparang menerima keputusan majelis hakim tersebut. Menurutnya, baik menerima maupun menolak permohonan penangguhan penahanan hal itu mutlak sepenuhnya menjadi kewenangan hakim.
"Kami tim penasihat hukum sudah mengajukan dan kewenangan dari majelis untuk mempertimbangkan (menerima atau menolak). Ke depan kita akan lihat sama-sama," ujarnya.
Saat ini, Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri itu ditahan di Rutan Salemba cabang Bareskrim setelah dua bulan dijadikan tersangka. Irjen Napoleon Bonaparte didakwa menerima uang 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Suap diberikan agar Napoloen bersama Brigjen Pol Prasetijo Utomo menghapus nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi.
Napoleon didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan/atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.