Senin 09 Nov 2020 18:50 WIB

Napoleon Siap Buktikan di Persidangan Bahwa Dirinya Dizalimi

Pada hari ini, Napoleon membacakan eksepsi atas dakwaan jaksa penuntut umum.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Terdakwa kasus dugaan suap penghapusan red notice Joko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte mendengarkan eksepsi yang dibacakan kuasa hukumnya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (9/11/2020). Sidang mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri itu beragendakan pembacaan eksepsi atau nota keberatan yang dibacakan kuasa hukum terdakwa.
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Terdakwa kasus dugaan suap penghapusan red notice Joko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte mendengarkan eksepsi yang dibacakan kuasa hukumnya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (9/11/2020). Sidang mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri itu beragendakan pembacaan eksepsi atau nota keberatan yang dibacakan kuasa hukum terdakwa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Dalam eksepsinya, Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte merasa dizalimi dalam perkara penghapusan red notice Djoko Soegiarto Tjandra. Dia memastikan siap untuk membuktikannya dalam sidang-sidang selanjutnya.

"Yang Mulia, dari bulan Juli sampai hari ini, saya merasa dizalimi melalui teks oleh pemberitaan-pemberitaan statement pejabat negara yang salah tentang tuduhan menghapus red notice. Kesempatan ini kami tunggu untuk menyampaikan tuduhan penerimaan uang. Saya siap untuk buktikan, didasari rencana untuk menzalimi kami sebagai pejabat negara," kata Napoleon di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (9/11).

Baca Juga

Dalam eksepsinya, Napoleon menyebut dakwaan jaksa penuntut umum yang menyatakan dirinya menerima suap dari Djoko Tjandra terkait penghapusan red notice adalah rekayasa palsu. Pasalnya, red notice Djoko Tjandra sudah terhapus di sistem Interpol sejak 2014.

"Bahwa perkara pidana yang melibatkan klien kami, Irjen Napoleon Bonaparte dalam hal penerimaan uang sejumlah 200 ribu dollar Singapura dan 270 ribu AS untuk pengurusan penghapusan red notice adalah merupakan rekayasa perkara palsu," ujar Santrawan Paparang, tim kuasa hukum Napoleon di Pengadilan Tipikor, Senin (9/11).

Santrawan berlasan, kuitansi atau bukti penerimaan uang dari Djoko Tjandra tidak ada hubungannya dengan Napoleon. Jaksa menyebut, uang dari Djoko Tjandra diterima Napoleon melalui Tommy Sumardi.

Menurut Santrawan, bukti soal penerimaan uang terhadap kliennya tak kuat lantaran hanya berdasarkan kesaksian dari satu orang, yakni keterangan dari Tommy Sumardi.

"Bahwa tidak ada keterangan kesaksian yang termuat di dalam keseluruhan berita acara pemeriksaan (BAP) dari saksi Djoko Soegiarto Tjandra yang menerangkan keterlibatan langsung maupun tidak langsung Irjen Napoleon Bonaparte terhadap penyerahan dan penerimaan uang sebagaimana kwitansi tanda terima," tegas dia.

In Picture: Djoko Tjandra Didakwa Menyuap 3 Aparat Negara Sebanyak 15 M

photo

Dia menerangkan, kuitansi tanda terima uang yang diterima Tommy Sumardi Djoko Tjandra berturut-turut pada 27 April 2020 sebesar 100 ribu dollar Singapura, 28 April sebesar 200 ribu dolar Singapura, 29 April sebesar 200 ribu dolar AS, 4 Mei 2020 sebesar 150 ribu dolar AS 12 Mei sebesar 100 ribu dolar AS dan 22 Mei 2020 sebesar 50 ribu dolar AS.

"Maka seharusnya demi hukum di dalam kuitansi tanda terima uang wajib dicatat maksud penerimaan uang yang diterima Tommy Sumardi dari Djoko Tjandra akan dipergunakan untuk kepentingan apa," kata Santrawan.

Ihwal duit 20 ribu dolar AS yang dijadikan barang bukti oleh penuntut umum pun bukan dari Tommy Sumardi. Melainkan, dari istri Brigjen Prasetijo Utomo.

"Bahwasanya uang 20 ribu dolar AS adalah uang milik sah dari istri Brigjen Prasetijo Utomo dalam bentuk mata uang rupiah di mana ketika itu Divisi Propam Polri meminta kepada Brigjen Prasetijo Utomo agar menyiapkan barang bukti uang 20 ribu dollar AS, dan mengingat karena ia Brigjen Prasetijo tak memiliki uang, maka Brigjen Prasetijo menulis sepotong surat kepada istrinya dengan meminta uang sejumlah 20 ribu dolar AS," ungkapnya.

Sehingga, lanjut dia, uang 20 ribu dolar AS yang dijadikan barang bukti untuk kasus kliennya cacat hukum. Dia pun menyanggah bila uang itu penerimaan dari Tommy Sumardi, melainkan uang istri Brigjen Prasetijo yang dipinjam oleh Divisi Prompam untuk barang bukti.

"Bahwa dengan demikian, keberadaan barang bukti uang ribu dollar AS yang oleh penyidik Tipikor Bareskrim Polri dijadikan barang bukti dalam berkas perkara klien kami terdakwa Irjen Napoleon adalah melawan hukum, cacat hukum, tidak sah berkekuatan hukum dan batal demi hukum dengan segala akibatnya," tegas dia.

Inspektur Jenderal Polisi Napoleon Bonaparte, pada Senin (2/11), didakwa menerima 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS atau sekitar Rp 6 miliar dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Suap diberikan agar Napoloen bersama Brigadir Jenderal Polisi Prasetijo Utomo menghapus nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi.

Napoleon didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan/atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

photo
Djoko Tjandra - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement