REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Iswandi Syahputra menuturkan tidak semua layanan over the top (OTT) berbasis internet menyediakan layanan siaran. Namun, OTT yang menyediakan layanan media audio visual nonlinear atau video on demand (VOD) perlu untuk diatur oleh negara.
Pengaturan guna memberikan perlindungan kepada masyarakat dari tayangan-tayangan negatif. "Oleh karena video OTT dalam bentuk VOD adalah konten siaran maka perlu ada pihak yang mengaturnya," katanya secara virtual dalam sidang pengujian Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (1/10).
"Bahkan saya menyebut negara mutlak harus melakukan pengaturan atau memberikan perlindungan kepada publik dari tayangan-tayangan yang negatif," ujar dia.
Jika OTT dalam pengertian VOD tidak diatur melalui sebuah sistem pengawasan yang baik maka dapat menimbulkan moral panic. "Kita sudah mengalaminya beberapa kali," katanya yang dihadirkan sebagai ahli oleh pemohon PT Visi Citra Mulia (INEWS TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI).
Dalam konteks tersebut, KPI dapat menjadi pihak yang merepresentasikan keadilan negara dalam memberikan perlindungan kepada publik. Ia mengatakan pengaturan tersebut, bukan untuk membatasi kebebasan warga dalam menyampaikan pendapat atau berekspresi, melainkan untuk melindungi warga Indonesia dari berbagai konten-konten negatif di internet melalui video-video dalam konteks media baru.
Selain VOD, ia mengatakan, terdapat OTT lainnya, yakni OTT penyedia layanan perpesanan seperti aplikasi chatting,Whatsapp, Facebook Messenger; OTT video telekonferensi seperti Skype, Zoom, Google Hangout; dan OTT penyedia video gim daring.
Dalam sidang sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut apabila layanan video melalui internet dimasukkan ke dalam penyiaran maka masyarakat tidak lagi dapat memanfaatkan fitur siaran sejumlah media sosial. Sebab, hanya lembaga penyiaran berizin yang dapat melakukan siaran.
Sementara RCTI dan INews TV mempersoalkan pengaturan penyiaran berbasis internet dalam Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum. Para pemohon meminta agar penyedia layanan siaran melaui internet turut diatur dalam UU Penyiaran.