REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN -- DPR-RI berkomitmen untuk merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR-RI, Ahmad Heryawan.
Sosok yang akrab disapa Aher itu mengatakan, UU Penyiaran yang masih berlaku hingga kini telah berusia cukup "tua", yakni lebih dari 20 tahun. Padahal, lanjut dia, lanskap dunia penyiaran di Tanah Air sudah banyak berubah. Terlebih lagi, perkembangan teknologi digital dan internet menimbulkan perubahan yang drastis di tengah masyarakat.
UU Nomor 32/2002 "hanya" mengatur penyiaran yang dilakukan via saluran radio, televisi, dan lain-lain yang masih mengandalkan teknologi analog. Sementara itu, sambung Aher, belum ada aturan perundang-undangan yang meregulasi penyiaran melalui saluran digital, termasuk media baru (new media) di internet.
"Ini tentu harus disentuh regulasi di Indonesia. Mengapa? Untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan, nilai-nilai Pancasila, dan budaya-budaya lokal yang baik," kata mantan gubernur Jawa Barat itu di sela-sela acara Konferensi Penyiaran Indonesia 2024 di kompleks Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Tangerang Selatan, Rabu (30/10/2024).
Aher menampik anggapan bahwa revisi UU Penyiaran akan membatasi kreativitas para pembuat konten (content creator) yang memanfaatkan internet. Menurut dia, siapapun content creator yang menyiarkan karyanya di platform-platform media sosial tidak perlu khawatir. Selama mereka membuat karya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, Pancasila, dan budaya Tanah Air, maka tak ada persoalan.
"Jadi, (revisi UU Penyiaran) bukan untuk membatasi kebebasan berkreasi, tetapi kita mengarahkan, jangan sampai (content creator) merusak masa depan bangsa," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Ubaidillah mengatakan, revisi UU Penyiaran akan menimbulkan keadilan bagi lanskap penyiaran nasional saat ini. Sebab, menurut dia, selama ini ada ketidakadilan.
Di satu sisi, penyiaran radio, televisi, dan lain-lain sebagainya diawasi secara ketat oleh KPI Pusat maupun KPI di daerah-daerah. Sementara itu, platform new media cenderung bebas tanpa diawasi regulasi atau badan mana pun.
"Itu tak ada yang mengawasi, padahal dampaknya luar biasa," kata Ubaidillah, Rabu (30/10/2024).