REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Indira Rezkisari
Sebanyak 17 dari 100 orang responden survei yang diadakan Badan Pusat Statistis (BPS) mengaku percaya diri tak mungkin tertular Covid-19. Hal ini terungkap dalam survei daring terkait kepatuhan dan persepsi evektivitas penerapan protokol kesehatan yang digelar BPS pada 7-14 September 2020. Survei berhasil menjaring 90.967 responden yang didominasi masyarakat berusia kurang dari 45 tahun.
Terkait persepsi kemungkinan terinfeksi virus corona, hasil survei menunjukkan sebanyak 29,4 persen responden menilai 'mungkin' untuk tertular. Sementara itu, sebanyak 34,3 persen responden berpikir 'cukup mungkin' untuk tertular. Sebanyak 19,3 persen responden juga menilai 'sangat mungkin' tertular.
Sisanya, 12,5 persen responden meyakini diri mereka 'tidak mungkin' untuk tertular dan 4,5 persen menilai 'sangat tidak mungkin'. "Jadi 17 dari 100 responden, mereka katakan bahwa mereka sangat tidak mungkin atau tidak mungkin tertular covid-19." ujar Kepala BPS Kecuk Suhariyanto dalam keterangan pers, Senin (28/9).
Menariknya, persepsi responden bahwa mereka 'tidak mungkin' dan 'sangat tidak mungkin' tertular Covid-19 cukup terkait erat dengan tingkat pendidikan. Bila dilihat dari persentasenya, jawaban 'sangat tidak mungkin' dan 'tidak mungkin' tertular Covid-19 paling banyak ditemui pada responden dengan latar pendidikan SD dan SMP. Masing-masing menyumbang persentase 33,69 persen dan 32,58 persen.
Sementara semakin tinggi tingkat pendidikan, maka jawaban 'tidak mungkin' dan 'sangat tidak mungkin' tertular Covid-19 semakin sedikit ditemui. Pada jenjang SMA dan Sarjana masing-masing persentasenya hanya 25,46 persen dan 13,41 persen.
"Persepsi tidak mungkin tertular itu terkait erat dengan pendidikan. Ketika pendidikan rendah mereka yakin bahwa saya pasti nggak akan tertular. Namun ketika pendidikan tinggi, kesadaran sudah tinggi sehingga persentase menurun," ujar Kecuk.
Dengan fakta angka tersebut, Kecuk mendorong pemerintah agar lebih inovatif dan masif dalam melakukan sosialiasi protokol kesehatan. Pemerintah, ujarnya, perlu memberikan pemahaman bahw Covid-19 adalah penyakit yang tak memandang latar belakang, baik sosial, ekonomi, atau pendidikan.
"Jadi perlu ada sentuhan khusus supaya pemahaman masyarakat menjadi lebih komplit sehingga mereka harus jaga-jaga karena siapapun bisa terkena," katanya.
Survei BPS menemukan pula 92 persen masyarakat, diwakili oleh responden, patuh menggunakan masker sebagai salah satu protokol kesehatan. Sementara jenis protokol kesehatan yang paling sulit dipatuhi adalah menjaga jarak dan mencuci tangan. Hanya 75 persen responden yang mengaku rutin mencuci tangan. Sedangkan yang secara aktif selalu menjaga jarak, hanya 73,54 persen.
"Jadi dari temuan ini secara umum menggembirakan, tetapi kita perlu memperhatikan penerapan baik untuk cuci tangan dan jaga jarak. Karena 3M (mengenakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan) ini pada posisi ideal, harus berjalan paralel," ujar dia.
Kecuk menyebutkan, persentase masyarakat yang mengenakan masker pada September ini meningkat sekitar 8 persen dibanding April lalu saat dilakukan survei serupa. Tapi catatan merahnya, persantase masyarakat yang mencuci tangan dan menjaga jarak justru mengalami penurunan, dari April ke September. Secara umum, penggunaan masker masih cukup dipatuhi kendati mencuci tangan dan jaga jarak justru semakin 'sulit' dijalankan.
"Jadi ke depan nampaknya kita perlu melakukan sosialiasi yang lebih supaya masyarakat betul-betul menerapkan 3M ini secara paralel. Karena menggunakan masker tanpa jaga jarak tentu tidak akan ada gunanya," kata Kecuk.
Bila dikaitkan dengan jenis kelamin, BPS menemukan fakta bahwa perempuan jauh lebih patuh dalam menjalankan protokol kesehatan, ketimbang laki-laki. Dalam penggunaan masker misalnya, sebanyak 94,8 persen perempuan taat mengenakan masker sementara yang laki-laki 'hanya' 88,5 persen. Tingkat kepatuhan yang cukup timpang terlihat pada poin kepatuhan dalam mencuci tangan, dengan skor 80,1 persen untuk perempuan dan 69,5 persen untuk laki-laki.
"Kemudian ketika digandengkan dengan pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan, kepatuhannya semakin meningkat," kata Kecuk.
Sedangkan apabila disandingkan dengan rentang usia, maka kelompok masyarakat yang sudah berumur cenderung lebih patuh menjalankan protokol kesehatan. Kecuk juga melihat ada kecenderungan yang muda kurang patuh terhadap protokol kesehatan. Kondisi ini menjadi catatan bagi pemerintah agar bisa menyosialisasikan protokol kesehatan dengan pendekatan yang lebih segar.
Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo ikut menanggapi hasil survei BPS ini. Bila angka survei mewakili jumlah penduduk Indonesia, ujarnya, maka 17 persen responden yang percaya diri tak akan tertular Covid-19 mewakili sekitar 45 juta penduduk Indonesia (asumsi total penduduk 270 juta orang). "45 juta warga Indonesia merasa tidak akan terpapar covid atau tidak akan kena. Padahal yang kita hadapi sekarang adalah pandemi. Artinya tidak ada satu jengkal tanah pun yang betul-betul aman dari Covid ya. Dalam waktu yang sangat cepat wabah ini bisa menular," kata Doni.
Menurut Doni, risiko tertular tetap ada sepanjang protokol kesehatan tidak dijalankan. Bila 17 persen responden tadi ternyata melakukan kontak dengan pasien positif Covid-19 tanpa gejala dan tidak menjalankan protokol kesehatan, maka risiko tertular cukup tinggi.
"Jadi seluruhnya harus ikut terlibat. Kalau kita saja sendirian patuh kepada protokol kesehatan lantas orang-orang di sekitar kita tidak patuh ya cepat atau lambat kita pasti akan tertular," kata Doni.
Dikutip dari siaran pers, Dosen departemen Biostatistika dan Kependudukan FKM UI, dr Iwan Ariawan, MSPH menjelaskan, data terakhir pada kurva epidemi berdasarkan onset hingga 24 September 2020, situasi pandemi Covid-19 di Indonesia masih belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Bahkan gelombang pertama masih terus berlangsung dan belum selesai.
Cara paling tepat untuk mengendalikan kondisi saat ini adalah dengan melakukan PSBB yang lebih ketat. PSBB ketat mampu menurunkan risiko penularan Covid-19 hingga 50 persen. Namun, pada saat Jakarta berada pada kondisi PSBB transisi, kasus Covid-19 kembali naik. Hal ini disebabkan oleh perbedaan aktivitas penduduk yang dilakukan saat PSBB ketat dan PSBB transisi. "Dengan PSBB ketat tentu dapat mengendalikan kasus Covid-19 yang ada di Jakarta meski tetap menunjukkan kasus baru per harinya,” ujar dr. Iwan.
Dokter Iwan juga menguraikan PSBB dapat berdampak dan bermanfaat apabila perilaku 3M. Yaitu mencuci tangan dengan sabun, memakai masker dan menjaga jarak dan TLI (Tes, Lacak, dan Isolasi) senantiasa dilakukan. “Berdasarkan penelitian, perilaku 3M terbukti dapat mencegah dan menurunkan risiko hingga di atas 50 persen, dengan catatan, perilaku 3M dilakukan dengan ketentuan dan berdasarkan pedoman yang benar. Sementara itu, tindakan TLI atau Tes, Lacak, dan Isolasi dapat bermanfaat jika dilakukan tak hanya mengejar banyaknya jumlah tes tetapi dengan memperhatikan cara yang benar dan tepat sasaran,” kata dr. Iwan.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM UI Prof dr Ascobat Gani, MPH, Dr. PH juga menyatakan bahwa kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia masih belum terkendali. “Strategi umum yang dapat dilakukan dalam menghadapi kondisi pandemi seperti saat ini adalah dengan melakukan 3T, yaitu Testing, Tracing, dan Treatment. Namun, pendekatan strategi lain yang tak boleh ditinggalkan adalah dengan melakukan strategi prevent, di antaranya dengan melakukan pencegahan melalui penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), Germas, Jaga Jarak, hingga pelaksanaan karantina,” ujar Prof Ascobat.
Prof Ascobat menyebutkan dari hasil testing yang dilakukan, maka positivity rate Indonesia berada pada angka 14,3 persen, yang artinya setiap kerumunan sekitar 100 orang terdapat sekitar 15 orang yang dapat menularkan virus. “Namun, pelaksanaan testing atau surveilans harian sebagai proses deteksi di Indonesia juga masih mengalami masalah. Testing di Indonesia ada pada angka lebih kurang 21 ribu orang rata-rata per harinya atau 165 ribu per minggunya, sedangkan jika melihat dari rekomendasi WHO adalah pada angka 267 ribu orang per minggunya,” ujar Prof Ascobat.
Tak hanya berbicara mengenai kapasitas sistem kesehatan, Prof Ascobat menjelaskan penduduk maupun pemerintah memiliki hak dan kewajiban masing-masing pada situasi pandemi saat ini. Penduduk berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan kewajiban memelihara kesehatan dan kesehatan lingkungan. Di sisi lain, pemerintah berhak untuk membuat dan melakukan penegakan peraturan tersebut dengan tidak lupa berkewajiban untuk memperhatikan kesehatan masyarakat dan mengendalikan wabah serta memberikan bantuan sosial akibat kebijakan dalam rangka mencegah penyebaran penyakit di saat pandemi Covid-19 ini.
“Dalam menangani situasi wabah saat ini, Indonesia bisa mengacu pada pedoman kapasitas sistem kesehatan IHR (International Health Regulation, WHO) 8 Core Capacities dengan didukung pembiayaan APBN dan APBD, penguatan Dinas Kesehatan, dan penguatan pelaksanaan pelayanan primer dan rujukan baik darurat maupun intensif dalam menyiapkan kapasitas kesehatan,” kata Prof Ascobat. IHR 8 Core Capacities yang dimaksud meliputi poin legislasi dan kebijakan, koordinasi, surveilans, respons, kesiapsiagaan, komunikasi risiko, sumber daya manusia tenaga kesehatan, dan ketersediaan laboratorium.
Lebih lanjut, Prof. Ascobat mengungkapkan bahwa dalam menyiapkan kapasitas sistem kesehatan harus dilakukan dengan pendekatan lintas sektor. Yaitu dengan menekankan pada sektor kesehatan masyarakat, manajemen kedaruratan, pengendalian perbatasan, pelabuhan, bandara, dan imigrasi, serta sektor transportasi.