Rabu 23 Sep 2020 18:56 WIB

Tren Pemulihan Ekonomi di Tengah Kepastian Resesi

Pengumuman resesi pemerintah bertujuan agar masyarakat dan dunia usaha bersiap diri.

Karyawan memotret layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta. IHSG berpotensi melemah jelang kepastian pertumbuhan ekonomi Indonesia. Proyeksi resesi yang telah diumumkan pemerintah diharap membuat masyarakat dan dunia usaha bersiap diri.
Foto: Prayogi/Republika
Karyawan memotret layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta. IHSG berpotensi melemah jelang kepastian pertumbuhan ekonomi Indonesia. Proyeksi resesi yang telah diumumkan pemerintah diharap membuat masyarakat dan dunia usaha bersiap diri.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka, Antara

Pertumbuhan ekonomi di Tanah Air kemungkinan besar akan berada di zona resesi. Sekretaris Eksekutif I Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) Raden Pardede namun melihat tren pemulihan ekonomi sudah mulai dilihat pada kuartal ketiga.

Baca Juga

Tren yang dimaksud adalah pertumbuhan negatif ekonomi pada kuartal ketiga akan membaik dibandingkan periode April hingga Juni. Hal ini tergambarkan dari proyeksi Menteri Keuangan Sri Mulyani pada kuartal ketiga yang tumbuh negatif 2,9 persen sampai minus 1,1 persen.

"Itu adalah salah satu catatan penting yang harus dilihat," ucap Raden dalam Webinar Arah Kebijakan Pemerintah: Keseimbangan Antara Kesehatan Dan Ekonomi, Rabu (23/9).

Raden mengungkapkan, beberapa indikator ekonomi lainnya juga sudah menunjukkan adanya pemulihan. Misalnya, kenaikan indeks manufaktur atau Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia yang berada pada level 50,8 pada bulan lalu. Indeks di atas 50 menggambarkan adanya ekspansi pada sektor pengolahan.

Selain itu, indikator lain seperti pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan yield surat utang negara (SUN) disebutkan Raden menunjukkan perbaikan secara bertahap. Meski belum kembali ke level sebelum pandemi Covid-19, tren pemulihan sudah mulai terlihat.

"Rupiah yang sempat hampir Rp 16.500 per dolar AS waktu itu, sekarang di posisi Rp 14.000an, pernah juga yield SUN mencapai 8,5 persen, sekarang di level sekitar 7 atau 6,7 persen, ada perbaikan di situ," kata Raden.

Pemerintah berharap, kontraksi hingga 5,32 persen pada kuartal kedua akan menjadi titik terendah ekonomi pada masa pandemi Covid-19. Selanjutnya, tren pemulihan bisa terus terjadi, meskipun secara bertahap.

Raden menambahkan, pertumbuhan negatif tidak hanya terjadi pada Indonesia. Banyak negara mengalami situasi serupa di tengah tekanan penyebaran virus corona, mulai dari negara berkembang seperti India hingga negara maju Amerika Serikat (AS).

Saat ini, Raden menuturkan, tugas utama pemerintah, masyarakat maupun semua pemangku kepentingan adalah memiliki optimisme ekonomi Indonesia mampu terus tumbuh. "Kita harus kerja keras, sehingga kuartal empat lebih baik dari kuartal ketiga, dan kuartal pertama 2021 lebih baik dari kuartal keempat," ujarnya.

Agar pemulihan lebih optimal, Raden menyebutkan, vaksin Covid-19 menjadi kunci utama. Tanpa penemuan vaksin, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap prospek ekonomi Indonesia akan sulit kembali. Dampak berikutnya, tingkat pemulihan pun tidak bisa optimal seperti yang diharapkan.

Oleh karena itu, Raden mengatakan, gabungan dan keseimbangan antara penanganan kesehatan dengan ekonomi menjadi prioritas utama pemerintah saat ini. "Gabungan antara kita perbaiki kesehatan kita, kesehatan dasar, itu yang bisa membuat ekonomi kita kembali," tuturnya.

Pemerintah telah menggelontorkan stimulus penanganan Covid-19 dan PEN sebesar Rp 695,2 triliun. Jumlah tersebut diharapkan mendorong perekonomian RI sebagai bentuk intervensi pemerintah.

Dari total pagu anggaran PC-PEN mencapai Rp 695,2 triliun itu, hingga 16 September 2020 total realisasinya mencapai 36,6 persen atau Rp 254,4 triliun. Alokasi perlindungan sosial, mencapai Rp 134,45 triliun atau 60,6 persen dari pagu mencapai Rp 203,9 triliun.

Adapun realisasi yang berada di bawah 50 persen per 16 September 2020 di antaranya insentif usaha dari Rp 120,61 triliun baru terealisasi Rp 22,23 triliun atau 18,43 persen, pembiayaan korporasi masih nol persen dari pagu Rp 53,6 triliun. Kemudian belanja realisasi kesehatan mencapai Rp 18,45 triliun atau 21,1 persen dari pagu Rp 87,5 triliun, sektoral kementerian/lembaga dan pemda Rp 20,53 triliun atau 42,2 persen dari pagu Rp 106,11 triliun dan dukungan UMKM terealisasi Rp 58,74 triliun atau 47,6 persen dari pagu Rp 123,46 triliun.

"Tanpa intervensi pemerintah akan terjadi resesi luar biasa," imbuh Raden yang juga Tim Asistensi Menko Perekonomian itu.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyatakan revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 yang dilakukan pemerintah merupakan sebuah langkah agar masyarakat dan dunia usaha bersiap diri dalam menghadapi situasi terburuk. "Pengumuman resesi versi pemerintah merupakan cara komunikasi agar masyarakat dan dunia usaha bersiap diri menghadapi situasi yang terburuk,” kata Pengamat ekonomi INDEF Bhima Yudhistira.

Tak hanya itu, Bhima menuturkan tujuan lain dari revisi yang dilakukan oleh pemerintah juga merupakan langkah agar pasar keuangan tidak kaget terhadap pengumuman resmi mengenai pertumbuhan ekonomi kuartal II. “Jadi pasar harapannya sudah price in,” ujarnya.

Bhima memperkirakan potensi terjadinya resesi pada tahun ini menunjukkan adanya tekanan yang sangat dalam pada perekonomian baik di sektor keuangan maupun sektor riil. Oleh sebab itu, ia memperkirakan akan terjadi gelombang PHK yang merata hampir di semua sektor mulai perdagangan, transportasi, properti, sampai industri sebagai upaya melakukan efisiensi pekerja untuk menekan biaya operasional.

“Jadi estimasinya ada 15 juta PHK sampai akhir tahun. Tak terkecuali banyak start up akan berguguran,” katanya.

Bhima melanjutkan, seiring dengan terjadinya gelombang PHK yang besar maka daya beli masyarakat menurun sehingga berpengaruh kepada naiknya jumlah orang miskin baru. “Pastinya angka kriminalitas juga meningkat dan rawan konflik sosial di masyarakat,” tegasnya.

Ia pun mengingatkan pemerintah agar terus fokus pada penyelesaian di sektor kesehatan secara serius terutama dalam hal pengendalian penularan serta vaksin. Menurutnya, semakin cepat pandemi Covid-19 ditangani maka masyarakat akan semakin percaya diri untuk melakukan kegiatan perekonomian di luar rumah sehingga dapat mendorong pemulihan. Kemudian, Bhima juga menyarankan agar pemerintah segera menambah jumlah penerima maupun nilai BLT untuk pengangguran, korban PHK, dan pekerja informal.

Ia menambahkan, bantuan berupa sembako juga bisa difokuskan ke daerah-daerah yang padat penduduk seperti Jabodetabek untuk meredam adanya potensi konflik sosial. “Nominal BLT harus lebih besar dari sebelumnya. Idealnya Rp1,2 juta per orang per bulan selama tiga sampai enam bulan,” ujarnya.

Sebagai informasi, Kementerian Keuangan telah melakukan revisi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 2020 dari semula minus 1,1 persen hingga 0,2 persen menjadi minus 1,7 persen sampai minus 0,6 persen.

Sementara ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai, revisi proyeksi pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi yang lebih buruk pada tahun ini tidak akan berdampak signifikan terhadap pasar keuangan. Sebab, pasar sudah melakukan antisipasi sejak ekonomi pada kuartal kedua mengalami kontraksi yang dalam.

Piter menyebutkan, pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2020 berada pada zona negatif hanya berupa penegasan terhadap prediksi para analis. Prediksi resesi pada kuartal kedua dan ketiga pun sudah dapat dilihat sejak jauh-jauh hari.

"Oleh karena itu, pasar (keuangan) sudah tidak kaget lagi dengan kemungkinan ataupun kepastian resesi. Jadi, dampaknya akan minimal," ucapnya.

Piter menjelaskan, kontraksi pada kuartal ketiga sudah diyakini, bahkan sebelum adanya pengetatan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). "Saya pun sejak beberapa minggu lalu sudah menyebutkan, kuartal ketiga negatif di kisaran tiga persen, yang artinya pasti akan resesi," tuturnya.

Beberapa hari ini, Piter menyebutkan, pasar keuangan memang kembali mengalami penurunan. Tapi, tren ini lebih disebabkan oleh ketidakpastian terkait penyelesaian wabah. Pasar semakin tidak yakin, wabah virus corona dapat berakhir dengan cepat, tidak terkecuali di Indonesia.

Dengan masih terjadinya pandemi Covid-19, perekonomian diperkirakan terus mengalami tekanan. "Kuartal keempat, perekonomian masih akan terkontraksi atau tumbuh negatif," kata Piter.

Tapi, Piter menekankan, resesi hanya sebuah stempel untuk kondisi yang sudah dijalani selama dua kuartal atau enam bulan terakhir. Resesi bukan awal dari periode yang akan berbeda secara signifikan. Oleh karena itu, ia meminta masyarakat untuk tidak terlalu cemas maupun panik dan terus menjalani aktivitas seperti biasa.

Antisipasi tetap harus dilakukan. Piter memberikan contoh, masyarakat dengan penghasilan pas-pasan, dapat menekan konsumsi atau jangan boros. Menabung juga harus terus dilakukan untuk berjaga-jaga di kemudian hari.

Meski pertumbuhan ekonomi ada di zona resesi, sejumlah industri dinilai masih berpotensi menjadi penyelamat. Ketua Program Magister Administrasi Publik Universitas Nasional Rusman Ghazali menyampaikan bahwa industri makanan dan minuman bisa menjadi penolong saat ekonomi Indonesia menghadapi resesi. "Kalau terjadi resesi, maka kondisi manufaktur pasti mengalami degradasi yang sangat besar dan yang bisa menolong adalah industri makanan dan minuman,"kata Rusman.

Rusman menyampaikan saat ini pemerintah telah memiliki skema kebijakan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Menurut dia, saat ini yang harus ditopang pondasinya adalah industri pengolahan yang memang basisnya adalah kebutuhan pokok sehari-hari.

Data Kementerian Perindustrian menyebutkan industri makanan dan minuman berkontribusi paling besar terhadap pertumbuhan industri manufaktur nasional, yakni mencapai 21,46 persen. Rusman menambahkan akibat pandemi Covid-19, berbagai sektor usaha mengalami perlambatan, antara lain perdagangan, konstruksi, dan pariwisata, yang dikarenakan pergerakan orang dan barang yang terhenti.

"Lebih jauh, sektor yang terpukul oleh dampak pandemi yakni industri otomotif, logam, kabel, dan peralatan listrik, semen, keramik, kaca, karet, mesin, alat berat, elektronika, tekstil, serta mebel dan kerajinan," katanya. Sektor yang mengalami pertumbuhan positif yakni jasa keuangan, asuransi, dan komunikasi, serta jasa kesehatan dan kegiatan sosial.

photo
Program pemulihan ekonomi perusahaan BUMN. - (Tim Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement