Senin 21 Sep 2020 23:40 WIB

Akademisi: Saatnya Membangun KPK yang Baru

Akademisi menilai perlu membangun KPK baru yang berbeda dari yang ada saat ini.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Bayu Hermawan
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengajar Hukum Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menilai perlu membangun KPK baru yang berbeda dari lembaga saat ini. Hal itu disampaikan dalam diskusi "Merefleksi satu tahun revisi UU KPK, Mati Surinya Pemberantaan Korupsi" yang diselenggarakan Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Yogyakarta.

"Mungkin saatnya berpikir menghela pemberantasan korupsi tanpa memasukkan KPK sebagai faktor penting, sekarang rasanya waktu untuk membangun KPK baru. Saya pada taraf 'haqqul yaqin', perlu ada KPK yang dibangun dengan cara baru," kata Zainal dalam diskusi virtual, Senin (21/9).

Baca Juga

UU KPK No 20 tahun 2003 resmi tercatat pada lembaran negara pada 17 Oktober 2019 sebagai UU No 19 Tahun 2019 mengenai Perubahan UU KPK. KPK sudah mengidentifikasi 26 hal yang berisiko melemahkan KPK dalam revisi UU KPK tersebut. "Saatnya gerakan masyarakat sipil untuk pemberantasan korupsi menawarkan revisi UU Pemberantasan korupsi kepada kandidat presiden 2024 yang mungkin akan memanaskan mesin 2022 dan akan banyak peluang masyarakat sipil untuk menawarkan kepada siapapun presidennya untuk mengikuti agenda publik yang selama ini diacuhkan," tambah Zainal.

Menurut Zainal, gerakan masyarakat sipil sebelumnya sudah menawarkan hal yang sama kepada Presiden Joko Widodo. Tetapi karena alat kontrol yang sangat lemah akhirnya yang terjadi adalah terjadinya penguasaan agenda publik oleh oligarki.

"Salah satu yang penting menghindari jebakan oligarki yang dititipkan ke partai dan presiden adalah bagaimana mengecilkan amplifikasi suara oligarki. Caranya ada tiga, pertama mengecilkan peran negara dan menguatkan peran masyarakat sipil istilahnya anarkisme," tambah Zainal.

Menurut Zainal, anarkisme bukan gerakan massa untuk membakar fasilitas publik melainkan gerakan mengecilkan peran negara meninggilan beran masyarakat sipil sehingga dengan mengurangi kewenangan negara yang dapat mempertahankan bisnis oligarki maka akan juga memperkecil ruang permainan oligarki.

"Cara kedua adalah membuat kesetaraan meski saat ini terjadi disparitas yang sangat jauh maka kita membuat kesetaraan sehingga perbedaan antara orang yang miskin dan kaya tidak terlalu jauh," ungkap Zainal.

Cara ketiga adalah membuat oligarki jinak yang mau membiayai proses perlawanan pemberantasan korupsi. "Saya berharap Muhammadiyah bisa melahirkan hal ini karena Muhammadiyah adalah gerakan besar, punya basis ekonomi, pemikiran mapan, kesejahteraan mumpuni sehingga menjadi oligarki jinak yang mengambil negara tapi bukan untuk kepentingan bisnis melainkan untuk menjadi kebaikan," tambah Zainal.

Namun pendirian "KPK baru" itu juga menurut Zainal menunggu sejumlah momentum seperti pembacaan putusan etik terhadap Ketua KPK Firli Bahuri.

"Selanjutnya menunggu putusan Mahkamah Konstitusi untuk uji materi UU KPK No 19 tahun 2019 walau harapan terhadap MK ini juga punya banyak catatan, dan karena KPK dibunuh dalam proses politik yaitu perselingkuhan DPR dan pemerintah, saya harap agenda politik 2024 dan bisa dipanaskan 2020 atau 2021 bisa mengubah konstelasim" jelas Zainal.

Momen keempat adalah momen melawan pendengung (buzzer) yang selama ini juga berlawanan dengan gerakan pemberantasan korupsi. "Negara selama ini dibantu dengan 3 jenis buzzer, yaitu buzzer plat merah perpanjangan tangan negara, buzzer plat kuning yang memang dibayari dan buzzer plat hitam yang tidak sadar menjadi pelantun kepentingan negara," tambah Zainal.

Gerakan tersebut dinilai Zainal harus kuat dilakukan karena aktivitas membela pemberantasan korupsi disampaikan secara oleh para buzzer. "Bagaimana mengagregasi kekuatan kuat untuk perlawanan di tingkat media sosial, bayangan saya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah bisa membangun cyber troops untuk melawan buzzer ini," katanya.

Sementara mantan pimpinan KPK periode 2011-2014, Busyro Muqoddas berpendapat, revisi UU KPK tidak ubahnya menjadikan KPK hanya sebatas aparat pemerintah. Artinya, tidak lagi sesuai dengan yang diamanatkan reformasi sebagaimana lembaga ini dibentuk.

"Apalagi, dengan alih status pegawai KPK menjadi ASN akan sangat mungkin terjadi benturan konflik kepentingan," kata Busyro.

Sedangkang koordinator Gusdurian, Alissa Wahid menekankan, realitanya kepercayaan publik terhadap KPK hari ini mulai menurun. Padahal, tanpa adanya satu institusi yang dipercaya, maka agenda pemberantasan korupsi seperti tanpa lokomotif.

"Jika kepercayaan publik dari KPK rendah, maka kecepatan untuk membangun tatanan atau agenda pemberantasan korupsi akan ikut menurun," kata Alissa.

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement