REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami sejumlah inisial dalam skandal suap, gratifikasi terpidana Djoko Tjandra. Kordinator MAKI Boyamin Saiman mengungkap, lima inisial yang diduga kerap terucap selama komunikasi intens antara tersangka jaksa Pinangki Sirna Malasari, dan Anita Dewi Kolopaking, dalam rencana pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan terpidana korupsi Bank Bali 1999 tersebut.
“Dalam rencana pengurusan fatwa itu, yang sering disebut-sebut, yaitu T, DK, BR, HA, dan SHD,” kata Boyamin, dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (11/9).
Boyamin belum mau membeberkan inisial-inisial tersebut, berasal dari kalangan mana. Tapi kata Boyamin, dalam komunikasi antara Pinangki, Anita, dan Djoko, inisial-inisial tersebut, sering disebut. “KPK perlu mendalami inisial nama-nama itu,” kata Boyamin.
MAKI, kata Boyamin, sudah menyampaikan sejumlah catatan hasil pengungkapan mandiri yang ia lakukan terkait skandal hukum Djoko Tjandra kepada KPK. Catatan tersebut, ia minta untuk menjadi bahan tambahan bagi penyidik KPK, dalam melakukan supervisi saat gelar perkara bersama dengan Kejaksaan Agung (Kejakgung), dan Bareskrim Polri.
Gelar perkara tersebut, sudah digelar pada Jumat (11/9) di Kantor KPK. Gelar perkara di KPK, setelah Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus), dan Bareskrim Polri, menggandeng KPK, dalam gelar perkara bersama, pada Jumat (14/8), dan Selasa (2/9) lalu.
Selain lima inisial tersebut, kata Boyamin, MAKI juga mendorong agar KPK menyibak kode komunikasi antara tersangka Pinangki, dan Anita dalam pengurusan fatwa. Kata Boyamin, kedua tersangka itu, sering menggunakan istilah ‘Bapakmu’, dan ‘Bapakku’. Boyamin meyakini kode komunikasi tersebut, terkait dengan upaya kedua tersangka membangun rencana penerbitan fatwa bebas MA untuk Djoko Tjandra.
Inisial lain yang diduga ada kaitannya dengan skandal Djoko Tjandra, kata Boyamin, yakni PG. Yang terakhir ini, Boyamin yakini, ada keterkaitannya dengan tersangka Pinangki. Namun, keterkaitan tersebut menyangkut soal rencana transaksi perusahaan enerji yang dilakukan terpidana Djoko Tjandra di Indonesia. “Sampai saat ini, inisial PG, belum didalami oleh penyidik di Pidsus Kejakgung,” terang Boyamin.
Boyamin juga meminta KPK mendalami adanya keterlibatan sejumlah pejabat di Direktorat Jenderal (Ditjen) Keimigrasian terkait skandal Djoko Tjandra. Sebab kata dia, penyidikan yang dilakukan di Kejakgung, maupun di Bareskrim, belum memberikan hasil penyidikan yang dapat menjawab teka-teki penerbitan paspor Indonesia untuk Djoko Tjandra, pada 23 Juni 2020. Padahal, pada tanggal tersebut, kata Boyamin, sudah ada surat dari Kejakgung kepada Imigrasi, terkait tentang status Djoko Tjandra yang masih berstatus cekal, dan buronan kejaksaan.
KPK, kata Boyamin, juga seharusnya melakukan penyelidikan terhadap tersangka jaksa Pinangki dalam supervisi, terkait hubungannya dengan pengusaha berinisial R. Kata Boyamin, R adalah pengusaha yang direncanakan tersangka jaksa Pinangki, untuk bertemu dengan salah satu petinggi di Kejakgung. Tetapi, Boyamin, pun belum mau menjelaskan petinggi Korps Adhyaksa yang dimaksud.
“PSM pernah menyatakan kepada Anita, yang intinya, akan mengantarkan R, menghadap pejabat tinggi Kejakgung,” kata Boyamin.
Terkait pengusaha inisial R, Direktur Penyidikan di JAM Pidsus Febrie Adriansyah pernah membeberkan, orang yang dimaksud, yakni Rahmat. Dalam penyidikan di Kejakgung, Rahmat baru saksi. Rahmat tiga kali diperiksa di JAM Pidsus. Pemeriksaan terakhir dilakukan Rabu (9/11).
“Terhadap Rahmat ini sudah sering kita periksa. Baik pemeriksaan untuk tersangka Pinangki, ataupun Djoko Tjandra,” kata Febrie.
Febrie pun pernah menerangkan, Rahmat dikatakan sebagai teman dekat Pinangki. Rahmat pula yang membawa Pinangki bertemu dengan Djoko. “Dia (Rahmat) kenal Pinangki, kenal Djoko Tjandra,” kata Febrie.
Saksi Rahmat, punya komunikasi intens dengan Pinangki untuk membicarakan tentang misi bebas Djoko dari vonis MA 2009. “Kalau dia (Rahmat) menghubungi Pinangki, berarti sering kenal kan,” ujar Febrie.
Dalam penyidikan sementara, Rahmat, pernah bersama Pinangki bertemu Djoko dua kali rentang November 2019 di Kuala Lumpur, Malaysia. “Nah, yang mempertemukan pertama Pinangki dengan Djoko Tjandra, itu si Rahmat,” kata Febrie. Dalam pertemuan pertama antara Pinangki, dengan Djoko, Febrie mengatakan, ada permintaan langsung dari Djoko.
“Yang jelas kan, ada Djoko Tjandra minta tolong. Selama pelarian (buronan), kan selalu berusaha untuk mencari jalan bebas dari eksekusi kejaksaan (vonis MA 2009), dan berusaha mencari jalan untuk bisa balik (pulang) ke Indonesia,” terang Febrie.
Dari permintaan tersebut, kata Febrie, Pinangki menawarkan upaya pembebasan Djoko Tjandra via fatwa MA. Rencana pengurusan fatwa MA tersebut, dilakukan sepanjang November 2019 sampai Januari 2020.
Djoko pun memberikan uang panjar upaya penerbitan fatwa tersebut, sebesar 500 ribu dolar AS (Rp 7,5 miliar) kepada Pinangki, lewat perantara Andi Irfan, politikus Nasdem yang juga sudah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, sampai saat ini, terhadap saksi Rahmat, kata Febrie, penyidik belum perlu meningkatkan statusnya sebagai tersangka. “Masih kita dalami terus terhadap Rahmat ini,” kata Febrie.