Rabu 09 Sep 2020 06:47 WIB

Pengesahan RUU MK Ngebut, Demokrat: Pasti Ada Kepentingan

Demokrat curiga pengesahan RUU MK dalam waktu singkat ada kepentingan tertentu.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Bayu Hermawan
Benny K Harman (tengah)
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A.
Benny K Harman (tengah)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru saja disahkan DPR RI beberapa waktu lalu diketahui dilaksanakan dalam waktu yang singkat. Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Demokrat Benny Kabur Harman pun meyakini ada kepentingan di balik cepatnya pembahasan RUU itu hingga disahkan.

"Kalau undang-undang MK ini  cepat-cepat dibikin dan disahkan,  maka pasti ada kepentingan enggak. usah dibantah itu, pasti ada kepentingan, maka pertanyaan lanjutannya siapa yang berkepentingan kan gitu," kata Benny dalam diskusi Koordinatoriat Wartawan Parlemen yang disiarkan secara daring pada Selasa (8/9).

Baca Juga

Benny pun menjelaskan cepatnya proses pembahasan RUU MK itu. Substansi revisi berkaitan dengan masa jabatan hakim mahkamah konstitusi, usia berapa hakim MK diterima dan usia berapa dia diberhentikan. Dalam RUU yang diajukan oleh DPR, usia minimumnya 60 tahun, usia maksimumnya 70 tahun. Pemerintah kemudian mengubah menjadi 55 tahun dan disepakati fraksi mayoritas di Parlemen.

Kemudian, dalam RUU yang diajukan DPR, masa jabatan hakim tetap 5 tahun yang bisa dipilih kembali setelah dievaluasi oleh instansi yang mengirim mereka menjadi hakim MK. Namun, kata Benny usulan ini ditolak oleh pemerintah yang juga diikuti fraksi mayoritas pendukung pemerintah.

"Pastilah teman-teman fraksi pendukung pemerintah di parlemen menyetujui itu, maka dengan demikian tidak ada masa jabatan Hakim MK, masuk usia 55, pensiun 70 tahun," ujar Benny.

Kemudian, yang menuai kontroversi, RUU yang disepakati itu ternyata berlaku untuk hakim MK yang saat ini masih menjabat. Sehingga, para hakim yang menjabat saat ini sudah bisa 'menikmati' masa jabatan yang lebih panjang.

"Kalau sudah lebih dari 15 tahun maka harus dipensiunkan dan setelah kita cek, (hakim MK yang menjabat) tak ada yang lebih dari 15 tahun. Dengan demikian maka sampai tahun 2024 tidak akan ada hakim MK yang dipensiunkan dan tidak ada yang berhenti," jelas Benny.

Benny mengatakan, sempat ada yang mengusulkan sejumlah pasal, misalnya soal uji ke Mahkamah Konstitusi soal aturan-aturan yang bertentangan dengan Konstitusi seperti Hukuman Mati dan lain-lain. Tetapi, kata Benny, tidak ada waktu lagi untuk mendalami usulan karena pembahasan yang dilakukan dengan cepat. Maka usulan ini kemudian dihapus.

Benny mengklaim dirinya pun kaget dengan cepatnya pembahasan RUU ini. Terlebih, RUU ini dibahas dan disahkan di tengah ganasnya pandemi Covid-19. "Memang Undang-undang MK ini nampaknya undang-undang Halilintar seperti petir disiang hari bolong, mengagetkan, dan saya ibaratkan juga seperti covid-19, datang tiba-tiba, diam-diam tetapi mematikan," ujarnya.

Rancangan undang-undang itu masuk di dalam rancangan undang-undang prioritas yang telah ditetapkan dalam prolegnas Baleg  untuk tahun 2020. DPR mendapat tugas untuk menyiapkan naskah rancangan undang-undang mahkamah konstitusi itu.

Baleg kemudian menyiapkan RUU MK ini untuk diajukan ke rapat paripurna dewan,  untuk disetujui menjadi rancangan undang-undang usul inisiatif dewan. Benny mengklaim, Demokrat sempat menolak pembahasan RUU MK ini.

"Kami salah satu Fraksi  yang pada saat itu menolak pembahasan rancangan undang-undang,  semata-mata karena covid, kan begitu,  tapi kami kalah ya biasalah kami ini kan oposisi," ujar Benny.

DPR RI sendiri telah mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi Undang-undang. RUU itu disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (1/9).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement