Rabu 02 Sep 2020 20:00 WIB

Klaster Pendidikan Harus Dicabut dari RUU Ciptaker

Legislator menyebut klaster pendidikan dalam RUU Ciptaker melenceng dari konstitusi.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih.
Foto: DPR
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih mendesak agar klaster pendidikan dicabut dari substansi RUU Cipta Kerja. Klaster Pendidikan dalam omnibus law RUU Cipta Kerja sudah melenceng dari amanat UUD 1945. 

"Semua substansi terkait pendidikan, termasuk yang mengubah UU Sisdiknas, UU Pendidikan Tinggi, UU Guru dan Dosen, dan UU Pendidikan Kedokteran harus dicabut, karena sudah melenceng dari hakikat pendidikan dalam konstitusi kita," kata Fikri dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Rabu (2/9).

Baca Juga

Fikri menduga ada upaya memaksa pendidikan menjadi lebih liberal dalam RUU Cipta Kerja dengan mengubah pasal-pasal di dalam UU mengenai pendidikan. Ia menegaskan menolak segala bentuk justifikasi atas liberalisasi pendidikan, apalagi dikuatkan dengan perundangan seperti di dalam RUU Cipta Kerja.  

"Pendidikan adalah hak dasar yang dijamin konstitusi kita, masa depan bangsa ini jangan dipertaruhkan hanya segelintir pasal dalam RUU ciptakerja," ucapnya.

Ia juga menyoroti sejumlah hal yang dianggap krusial, salah satunya terkait kewajiban berusaha dalam draf RUU Ciptaker. Kewajiban itu mengubah ketentuan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Perubahannya, yakni penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat. 

Ia juga mengkritik adanya ketentuan lain yang mengatur bagi mereka yang melanggar (tidak punya izin berusaha) akan dikenakan sanksi pidana kurungan maksimal 10 tahun dan denda satu miliar rupiah.  "Pasal ini menambah esensi pemaksaan secara hukum, bahwa pesantren-pesantren, madrasah diniyah, serta pendidikan non-formal berbasis masyarakat lainnya harus punya izin usaha," ujar Fikri.

Ia juga menyoroti isu lain soal perombakan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Politikus PKS tersebut mengecam pasal-pasal dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang dinilai diskriminatif terhadap guru dan dosen dalam negeri, dan sebaliknya sangat memihak kepada pengajar asing.

"Guru dan dosen lokal wajib sertifikasi, sedangkan pengajar asing dikasih karpet merah, ini benar benar RUU alien," ucapnya.

Terakhir, Fikri mengritik sikap pemerintah dalam pembahasan legislasi yang  tidak konsisten dengan revisi UU Sisdiknas. Fikri mengingatkan, dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2020, revisi atas UU 20/2003 tentang Sisdiknas merupakan Undang-undang tersendiri dan merupakan usulan pemerintah.

"Kita seharusnya konsisten pada kesepakatan awal, bahwa revisi UU Sisdiknas dibahas terpisah," katanya.

"Keputusan ini disepakati oleh pemerintah sendiri yang dihadiri Menteri Hukum & HAM dalam rapat dengan Badan Legislasi DPR RI saat penentuan Prolegnas," imbuhnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement