REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencermati temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut adanya anggaran pemerintah pusat untuk beragam aktivitas yang melibatkan influencer. Besaran anggaran itu senilai total Rp90,45 miliar.
"Sebagai lembaga antikorup, tentu saja hukumnya menjadi wajib bagi KPK untuk memperhatikan isu-isu pemberantasan korupsi yang menjadi pembicaraan masyarakat. Termasuk soal isu kucuran dana untuk influencer ini," kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam keterangannya di Jakarta, Senin (24/8).
Namun, ia mengungkapkan bahwa dalam menyikapi informasi tersebut, cara kerja KPK tidak perlu disampaikan secara terbuka.
"Tentu saja cara kerja KPK menyikapi informasi tersebut tidak harus disampaikan secara terbuka. Kami sedang cermati ada tidaknya kebenaran tersedianya anggaran itu," ujar Nawawi.
KPK, lanjut dia, juga tidak menutup kemungkinan akan melakukan kajian atas temuan tersebut seperti yang telah dilakukan sebelumnya terkait program BPJS dan Kartu Prakerja. Ia menegaskan pemantauan KPK terhadap program-program tersebut sebagaimana tugas dan fungsi KPK yang diamanatkan dalam Pasal 6 huruf C UU Nomor 19 Tahun 2019.
"Bisa saja seperti itu sebagai bentuk tugas monitoring KPK Pasal 6 huruf C UU 19/2019, yaitu melakukan kajian tetapi bisa juga dalam bentuk penyelidikan," tuturnya.
Sebelumnya pada Kamis (20/8), Peneliti ICW Egi Primayogha dalam konferensi pers "Rezim Humas: Berapa Miliar Anggaran Influencer?" secara daring menyatakan, pemerintah pusat menganggarkan Rp90,45 miliar untuk beragam aktivitas yang melibatkan influencer. Temuan itu berdasarkan penelusuran dari laman pengadaan barang jasa pemerintah Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sepanjang 14 sampai dengan 18 Agustus 2020.
Menurut Egi, anggaran belanja pemerintah untuk aktivitas yang melibatkan influencer mulai muncul pada tahun 2017. Adapun, perinciannya pada 2017 ada 5 paket pengadaan senilai Rp17,68 miliar, pada tahun 2018 terdapat 15 paket senilai Rp56,55 miliar, pada 2019 terdapat 13 paket senilai Rp6,67 miliar, dan pada 2020 ada 7 paket senilai Rp9,53 miliar.
Dari anggaran tersebut, kementerian yang paling banyak menggunakan influencer adalah Kementerian Pariwisata dengan 22 paket pengadaan senilai Rp77,66 miliar, disusul Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan 4 paket pengadaan senilai Rp10,83 miliar. Selanjutnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan 12 paket pengadaan senilai Rp1,6 miliar, Kementerian Perhubungan (1 paket) senilai Rp195,8 juta, dan Kementerian Pemuda dan Olahraga (1 paket) senilai Rp150 juta.
Kantor Staf Presiden (KSP) menilai langkah pemerintah untuk menggandeng influencer dalam menyosialisasikan program, sah-sah saja. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan Donny Gahral Adian menjelaskan, sejak awal pemerintah memang memanfaatkan berbagai jalur komunikasi yang efektif agar program dan kebijakan bisa dipahami oleh masyarakat.
"Influencer adalah mereka yang punya massa, punya pengikut, punya pendengar. Apa yang mereka sampaikan pasti didengar orang banyak. Sehingga dipanggil supaya bisa terhindar dari hoaks, fitnah, dari pembunuhan karakter, menggunakan sosial media secara positif," ujar Donny, Jumat (21/8).
Donny menambahkan, program kerja pemerintah memang harus dikabarkan hingga ke pelosok dan desa-desa. Salah satu pihak yang bisa menjangkau semua kalangan, menurut Donny, adalah influencer dengan jejaring pengikutnya yang luas. Apalagi, ujarnya, 40 persen populasi Indonesia masuk dalam golongan milenial yang dianggap melek teknologi.
"Jadi saya kira bukan (pemerintah) tidak percaya diri tapi jangkauannya lebih luas, terutama di kalangan milennial. Sehingga program-program itu bisa dipahami. Misalnya, bansos, orang kan tidak tahu bagaimana melakukan bansos, daftar ke mana, prosedurnya seperti apa," katanya.