Selasa 21 Jul 2020 00:30 WIB

BMKG: Gempa di Indonesia Meningkat 11 Ribu Kali Tiap Tahun 

BMKG belum bisa memastikan penyebab peningkatan aktvitivas gempa.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Nashih Nashrullah
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia  (BMKG), Dwikorita Karnawati, menyatakan terjadi peningkatan aktivitas gempa beberapa tahun terakhir.
Foto: Republika/Silvy Dian Setiawan
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia (BMKG), Dwikorita Karnawati, menyatakan terjadi peningkatan aktivitas gempa beberapa tahun terakhir.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN – Kejadian gempa bumi tiap tahun di Indonesia meningkat. Bila sebelum 2016 rata-rata 4.000-5.000 kali dan pada 2017 sebanyak 7.000 kali, namun sejak 2018 hingga kini meningkat 11 ribu kali lebih setiap tahun.

Kepala BMKG, Prof Dwikorita Karnawati, menilai peningkatan aktivitas kegempaan ini belum diketahui penyebabnya dan untuk menganalisa ini sangat perlu kajian mendalam. Menurut Dwikorita, pakar-pakar masih terus pula meneliti aktivitas pergeseran lempeng bumi.

Baca Juga

"Apakah ini tren pengulangan atau memang ada peningkatan, sehingga perlu dievaluasi dengan dukungan data dan kerja sama banyak pihak," kata Dwikorita dalam webinar yang diadakan Departemen Teknik Geologi UGM, akhir pekan lalu (19/7).

Dwi menuturkan, peningkatan aktivitas tektonik ini bisa saja terpengaruh perubahan iklim dan sebagainya. Meski begitu, data yang dimiliki BMKG menurutnya hanya pada kejadian kegempaan hanya sampai pada dua abad silam.

Artinya, catatan soal kejadian tahun yang lebih lama tidak dimiliki. Maka itu, keterbatasan selama ini memang kita tidak cukup memiliki data sejarah gempa, dan hanya ada mulai 1800-an, sekitaran dua abad lalu. 

Peningkatan aktivitas kejadian gempa di Tanah Air ini sudah dilaporkan ke Presiden RI. Salah satu langkah yang bisa dilakukan BMKG kini tidak lain meminimalkan risiko bencana akibat gempa bumi dan bencana tsunami. 

Namun, soal alat deteksi tsunami yang dimiliki sekarang dirasa sudah tidak layak pakai lagi karena sudah lampui batas kemampuan kerja alat yang hanya maksimal 10 tahun. Kini, dalam proses revitalisasi dan pengembangan.  

Selain itu, kemampuan alat deteksi tsunami ini disebut tidak sesuai kebutuhan BMKG. Sebab, alat yang ada hanya mendeteksi gempa akibat aktivitas tektonik, dan aktivitas vulkanik seperti longsor di bawah laut justru tidak terdeteksi.

"Teknologi yang ada sampai hari ini didesain berdasarkan bencana tsunami di Aceh yang diakibatkan kejadian gempa tektonik, namun untuk kejadian gempa nontektonik, sistem itu tidak dirancang," ujar Dwikorita.  

Menurut Dwi, kejadian tsunami di Banten beberapa waktu lalu akibat erupsi Gunung Krakatau jadi pelajaran berharga BMKG memasang alat deteksi tsunami tidak hanya pada kejadian gempa tektonik. Namun, juga kejadian non tektonik.

Untuk itu, BMKG sedang bekerja sama dengan BPPT, ITB dan lembaga-lembaga lain mengembangkan earthquake early warning system atau sistem peringatan dini gempa bumi. Rencananya sensor alat deteksi ini dipasang di jalur megatrust. "Sebarannya mengikuti megatrust, sekitar 400-an sensor yang diperlukan," kata Dwikorita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement