Jumat 10 Jul 2020 10:26 WIB

Aturan tak Tegas untuk 'Meredam' Bisnis Rapid Test

Kemenkes diminta tegas atur sanksi bagi RS yang mematok tarif lebih dari Rp 150 ribu.

Petugas medis menunjukkan alat rapid test Covid-19 buatan dalam negeri di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Kamis (9/7). Pemerintah meluncurkan alat tes cepat Covid-19 yang diberi nama RI-GHA Covid-19 dan menargetkan dapat diproduksi sebanyak 200 ribu pada Juli dan 400 ribu di Agustus 2020.
Foto: ANTARA FOTO
Petugas medis menunjukkan alat rapid test Covid-19 buatan dalam negeri di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Kamis (9/7). Pemerintah meluncurkan alat tes cepat Covid-19 yang diberi nama RI-GHA Covid-19 dan menargetkan dapat diproduksi sebanyak 200 ribu pada Juli dan 400 ribu di Agustus 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Haura Hafizhah

JAKARTA – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menilai perlunya mekanisme sanksi terkait batas tarif tertinggi biaya rapid test atau tes cepat Covid-19. Aturan terkait itu harus tegas mengatur sanksi dari teguran lisan hingga pencabutan izin jika ada rumah sakit yang menarik tarif tes cepat lebih dari Rp 150 ribu.

“Masalahnya sekarang biaya rapid test bisa melebihi Rp 150 ribu. Para rumah sakit berani seperti itu karena dalam SE Kemenkes (Surat Edaran Kementerian Kesehatan) tidak tercantum sanksinya jika ada yang melanggar. Harusnya ada dong,” kata Anggota Ombudsman RI Alvin Lie saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (9/7).

Kemenkes diketahui menerbitkan SE Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Rapid Test Antibodi. Dalam SE tersebut, batasan tarif tertinggi untuk tes cepat antibodi sebesar Rp 150 ribu. Surat itu ditandatangani Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Bambang Wibowo pada 6 Juli 2020.

Menurut edaran itu, pemerintah perlu menetapkan tarif maksimal bagi masyarakat yang ingin melakukan tes cepat lantaran tarif saat ini masih bervariasi. Variatifnya tarif menimbulkan kebingungan masyarakat.

Aturan tersebut diharapkan bisa 'meredam' upaya oknum-oknum yang mencoba memanfaatkan tes cepat untuk mendulang keuntungan pribadi. Menurut Alvin, aturan yang tidak tegas serta tidak adanya mekanisme sanksi bagi rumah sakit yang melanggar membuat masyarakat tetap kebingungan.

Ia mencontohkan, pada Kamis (9/7) di salah satu rumah sakit di Gorontalo, Sulawesi Utara, tarif tes cepat dipatok sesuai SE Kemenkes. Namun, biaya tersebut akan bertambah jika minta surat keterangan atau hasil tertulis.

“Jadi rapid test saja Rp 150 ribu. Kalau minta surat keterangan atau hasil tertulis jadi Rp 243 ribu. Nah, ini bagaimana nih? Kemenkes harus segera buat aturan dan sanksi bagi yang melanggar agar para rumah sakit jera,” kata dia.

Kompartemen Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Fajaruddin Sihombing mengatakan, tes cepat dan seluruh alat screening Covid-19 yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan seharusnya di tanggung pemerintah secara gratis. Sehingga tes cepat bisa berjalan sesuai aturan.

“Saat ini banyak rumah sakit yang menyediakan rapid test dengan biaya pembelian masih mahal di atas Rp 150 ribu. Hal ini juga tidak merata. Sehingga masyarakat merasa terbebani,” ujar dia.

Fajaruddin melanjutkan, selain biaya tes cepat, ada biaya pendukung lain yang harus para rumah sakit sediakan seperti tenaga dokter dan staf laboratorium, APD serta biaya pendukung lainnya. Hal seperti ini harus dipikirkan oleh pemerintah, sehingga tidak ada kesalahpahaman antara masyarakat dengan rumah sakit.

Dia menambahkan, aturan yang dibuat harus disesuaikan dengan masyarakat dan rumah sakit. Jangan sampai, kata Fajaruddin, peraturan yang dibuat menjadi percuma. “Saya harap digratiskan saja saat situasi seperti ini . Ini untuk keselamatan bersama terlebih untuk peserta JKN,” kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement