Rabu 08 Jul 2020 12:03 WIB

Yusril: MA tidak Berwenang Mengadili Sengketa Pilpres

Menurut Yusril, putusan MA tak akan membatalkan kemenangan Jokowi-Ma'ruf di pilpres.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andri Saubani
Pengamat Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Pengamat Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 44 P/HUM/2019 tak akan membatalkan kemenangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin pada pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Seperti diketahui, Yusril juga adalah pengacara pasangan Jokowi-Ma'ruf di Pilpres 2019.

"Menang tidaknya Jokowi dalam Pilpres 2019 telah diputus oleh MK karena hal itu menjadi kewenangannya. MA sama sekali tidak berwenang mengadili sengketa pilpres," ujar Yusril lewat keterangan tertulisnya, Rabu (8/7).

Baca Juga

Menurutnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) final dan mengikat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga merujuk pada putusan MK yang tegas menolak permohonan sengketa yang diajukan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

"Putusan MA itu bersifat prospektif atau berlaku ke depan sejak tanggal diputuskan. Putusan MA tidak berlaku retroaktif atau surut ke belakang," ujar Yusril.

Selain itu, aturan Pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon memang tidak diatur dalam dalam Pasal 416 Undang-Undang  Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Ketentuan Pasal 7 ayat 3 PKPU Nomor 5 Tahun 2019, itu mengaturnya dengan mengacu kepada Putusan MK No 50/PUU-XII/2017. Di mana menafsirkan ketentuan Pasal 6A UUD 45 dalam hal pasangan capres dan cawapres hanya dua pasangan.

"Dalam keadaan seperti itu, maka yang berlaku adalah suara terbanyak tanpa perlu diulang lagi untuk memenuhi syarat sebaran kemenangan di provinsi2 sebagaimana diatur Pasal 6A itu sendiri," ujar Yusril.

Patut disadari, kata Yusril, bahwa putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang mempunyai kekuatan yang setara dengan norma undang-undang itu sendiri. Meskipun putusannya bukan merupakan suatu bentuk peraturan perundang-undangan.

MA memutus perkara pengujian PKPU itu dengan merujuk kepada Pasal 416 UU Pemilu yang tidak mengatur hal tersebut. Sehingga, menyatakan Pasal 3 ayat 7 PKPU itu bertentangan dengan UU Pemilu.

"Masalahnya MA memang tidak dapat menguji apakah PKPU tersebut bertentangan dengan putusan MK atau tidak. Di sini letak problematika hukumnya," ujar Yusril.

Adapun, putusan MK itu dilakukan dalam konteks pengujian terhadap norma Pasal 158 UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres. Isinya sama dengan norma Pasal 416 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Karena materi pengaturan yang diuji bunyinya sama. Apalagi putusan MK terhadap pengujian Pasal 158 UU Nomor 42 Tahun 2008 itu mutatis mutandis juga berlaku terhadap norma Pasal 416 UU Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pemilu.

"Kalau pasangan calon hanya dua dan harus diulang terus agar memenuhi syarat kemenangan menurut sebaran wilayah, maka Pilpres menjadi tidak jelas kapan akan berakhir," ujar Yusril.

Sementara masa jabatan presiden yang ada sudah berakhir dan tidak dapat diperpanjang oleh lembaga manapun, termasuk MPR. Hal ini akan berakibat terjadinya kevakuman kekuasaan dan berpotensi menimbulkan kekacauan.

"Karena itu, kalau paslon Pilpres itu hanya dua pasangan, aturan yang benar dilihat dari sudut hukum tatanegara adalah Pilpres dilakukan hanya satu kali putaran dan paslob yang memperoleh suara terbanyak itulah yang menjadi pemenangnya," ujar mantan Ketua Tim Hukum Jokowi-Ma'ruf Amin.

KPU juga sudah merespons putusan MA Nomor 44 P/PHUM/2019 terkait uji materi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 tidak mempengaruhi keabsahan penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu 2019.

"Putusan MA 44/2019 tidak berpengaruh terhadap keabsahan penetapan paslon Presiden dan Wapres terpilih hasil Pemilu 2019," ujar Komisioner KPU RI, Hasyim Asy'ari dalam keterangan tertulisnya, Selasa (7/7).

Putusan MA 44/2019 tersebut ramai diperbincangkan setelah diunggah ke laman resmi Direktori Putusan MA pada 3 Juli 2020. Sementara, putusan dibacakan pada 28 Oktober 2019 lalu, yang salah satu pemohonnya adalah Rachmawati Soekarnoputri.

Rachmawati menggugat ketentuan Pasal 3 ayat 7 PKPU Nomor 5/2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilu. Pasal itu berbunyi, "Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih."

Sementara, Hasyim mengatakan, aturan tersebut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014 yang berlaku mengikat untuk semua. Dalam putusan tersebut, Pasal 159 ayat 1 UU Nomor 42 Tahun 2018 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bersifat inkonstitusional bersyarat, -sepanjang pilpres hanya diikuti dua paslon.

Dengan demikian, pilpres dalam situasi yang hanya diikuti dua pasangan calon tidak perlu dilakukan putaran kedua. Hasyim menuturkan, dalam UU 7/2017 tidak ditentukan secara tekstual norma tersebut.

"Namun tetap berlaku norma sebagaimana terdapat dalam Putusan MK PUU 50/2014 dalam situasi yang sama Pilpres 2019 diikuti hanya dua paslon tidak perlu putaran kedua," kata Hasyim.

Ia menyebutkan, asas hukum tidak berlaku surut atau norma dalam peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut. Putusan MA 44/2019 adalah pengujian norma dalam PKPU 5/2019. Peristiwa hukum penetapan paslon presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu 2019 dilaksanakan pada 30 Juni 2019.

Putusan MA 44/2019 diregister 14 Mei 2019 dan diputuskan 28 Oktober 2019. Hasyim mengatakan, karena Putusan MA tersebut adalah pengujian norma PKPU, maka tidak dapat diberlakukan surut terhadap peristiwa hukum yang telah dilaksanakan.

photo
Tiga kekalahan jokowi atas gugatan rakyat - (Data Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement