Kamis 02 Jul 2020 12:59 WIB

Komunikasi Transparansi, Mengupayakan Keadilan Kasus Novel

kasus Npve;

Penyidik KPK Novel Baswedan selaku korban menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (30/4/2020). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan saksi
Foto:

Setelah sekian lama kasus penyiramaan air keras terhadap Novel tidak mengemuka, kini kembali mengudara. Tuntutan jaksa satu tahun kepada para pelaku dengan dalih hal tersebut dilakukan dengan tidak sengaja memancing kecurigaan publik. Lebih lanjut, logika penegak hukum memvonis tindakan kriminal pelaku penyiraman hanya dengan pasal penganiayaan.

Melihat hal tersebut, seolah ada yang tidak masuk akal (make sense) untuk diterima dalam logika publik bahwa tuntutan tersebut dianggap wajar-wajar saja. Tidak salah jika publik kemudian banyak berandai-andai atau menduga-duga bahwa ada yang bermasalah dalam penanganan kasus ini.

Ketika logika penegak hukum dengan logika publik tidak sama, ada kesenjangan di sana yang patut diurai lebih lanjut. Penegak hukum akan dimintai pertanggungjawabannya oleh publik. Dalil-dalil konstitusi yang menjadi dasar acuan memutuskan perkara, bukan sekedar tafsir bebas yang bisa dimonopoli kebenarannya oleh pihak-pihak tertentu saja. Parameter kebenaran itu jelas yakni berpihak pada keadilan. Jika kebenaran dirampas, maka keadilan terhempas.

James W. Carey (2009) juga sepakat bahwa tatanan sosial yang baik hanya akan tercapai dengan kebenaran yang tidak terkontaminasi (uncontaminated truth). Upaya mengawal keadilan menjadi tanggung jawab bersama. Perbedaan logika penegak hukum dengan logika publik akan berdampak luas. Jika masalah ini tetap “dipaksa” selesai dengan tuntutan yang masih “janggal” tanpa pembuktian dan pertanggungjawaban yang logis, sebagai bentuk menyamakan frekuensi logika penegak hukum dengan logika publik, bukan tidak mungkin hal tersebut menjadi preseden buruk bagi penegakkan keadilan di Indonesia.

Komunikasi Transparansi untuk Keadilan

Tuntutan terhadap pelaku penyiraman Novel dipersepsi janggal oleh publik akibat belum adanya transparansi yang optimal. Saat tiba-tiba, tuntutan muncul hanya satu tahun penjara, setelah sekian lama simpang siur, tentu menghentak publik. Proses-proses penyelidikan oleh kepolisian maupun pengungkapan yang dilakukan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) belum memberikan kepuasan publik bahwa kasus ini benar-benar diproses sesuai  harapan.

Tingkat kepercayaan publik menjadi indikator utama dalam mempersoalkan transparansi suatu kebijakan. Banyak sekali studi yang telah menyoroti terkait persoalan transparansi, sebut saja di antaranya: Hood & Heald (2006) tentang Transparency: The Key to Better Governance; Faulconer & Dashaw (2013) tentang Government Transparency and Secrecy: Measures, Access, and Policy; dan Meijer, Grimmelikhuijsen, Nell, & Lentz (2014) tentang Organizational Arrangements for Targeted Transparency.

Sejumlah studi tersebut menyepakati bahwa transparansi menjadi elemen yang vital dalam menentukan sejauhmana setiap penyelenggaraan kebijakan publik dapat berjalan dengan baik atau tidak. Bahkan, Meijer (2013) menekankan bahwa dalam mengoptimalkan transparansi tidak boleh ada yang ditutupi atau disembunyikan di setiap prosesnya, atau jika menggunakan istilah Davis (1998) dalam tulisannya Access to and Transmission of Information mengarahkan perlunya mengungkap tabir kerahasiaan “lifting the veil of secrecy”.

Publik dalam hal ini harus diberikan informasi yang terang benderang, sehingga transparansi dari penegak hukum dapat menghindarkan dari persepsi negatif atau dugaan kejanggalan.

Seperti halnya apa yang dilakukan Bintang Emon dalam narasi satire humornya yang berjudul “Ga sengaja” merupakan salah satu representasi ketidakpuasan publik atas penegakkan keadilan kasus penyiraman air keras terhadap Novel. Hal tersebut juga relevan dengan pandangan Miriam Nisbet (2012), seorang Director of the Office of Government Information Services (OGIS) atau Freedom of Information Act Ombudsman Amerika Serikat mengatakan di abad 21 penggunaan teknologi dapat meningkatkan transparansi.

Dalam konteks ini, satire humor Bintang Emon menjadi bagian dari partisipasi aktif publik untuk memberikan kontrol sosial sebagai upaya meminta pertanggungjawaban penegak hukum terkait dengan kebijakannya di satu sisi dan mendorong keadilan ditegakkan di sisi yang lain.

Mengingat dalam transparansi ada tiga hal yang perlu diperhatikan, meliputi transparansi pengambilan kebijakan (decision-making transparency), transparansi konten kebijakan (policy content transparency) dan transparansi hasil kebijakan (policy outcome transparency) (Grimmelikhuijsen & Welch, 2012). Melalui bentuk-bentuk transparansi tersebut, setiap proses dan hasil kebijakan dapat dikomunikasikan untuk diuji kebenarannya oleh publik, sehingga dapat memenuhi unsur terwujudnya keadilan sebagai bagian dari upaya membumikan Pancasila.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement