REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, menilai pemerintah harus menindaklanjuti rekomendasi KPK soal kejanggalan-kejanggalan dalam implementasi Kartu Prakerja. Hal ini sangat diperlukan agar nantinya stakeholder terkait Kartu Prakerja tidak tersandung perkara hukum.
"Mestinya pemerintah merespons dengan baik apa yang disampaikan KPK tersebut," kata Arsul saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (19/6).
Arsul mengingatkan, para pejabat pemerintahan tersebut harus memahami bahwa mereka bisa saja terlibat perkara hukum bila melaksanakan program Prakerja dengan skema yang berlaku saat ini. "Mereka bisa saja kesandung masalah hukum setelah tidak menjabat lagi atau bahkan setelah pensiun lama dari pemerintahan atau dunia politik," kata Wakil Ketua MPR ini.
Menurut Arsul, apa yang disampaikan oleh KPK merupakan tindak lanjut dari rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR hampir dua bulan lalu. Sebagai komisi yang membidangi hukum di DPR, Komisi III telah melihat bahwa program pelatihan daring dari program Kartu Prakerja ini berpotensi bermasalah secara hukum.
Terlebih, berbagai elemen masyarakat juga melihat permasalahan tersebut dan telah meminta pemerintah meninjau ulang soal pelatihan daring tersebut. "Kami mendukung program Kartu Prakerja-nya, tapi kami juga melihat potensi masalah hukum, khusunya dalam perspektif UU Tipikor," ujar Arsul.
Komisi III pun mengapresiasi KPK yang telah merilis hasil kajiannya terkait Kartu Prakerja. Pasalnya, kajian ini memang menjadi perhatian Komisi III DPR.
Politikus PPP ini menambahkan, pemerintah juga perlu memperhatikan pandangan KPK terkait sisi tata kelola penggunaan anggaran yang benar. "Nah, berdasar apa yang disampaikan kedua lembaga ini, mestinya pemerintah melakukan perbaikan dalam pelaksanaan kebijakan," ujar dia.
Sebelumnya, KPK mengumumkan hasil kajian terhadap program Kartu Prakerja. Ada sejumlah rekomendasi yang salah satunya menyoroti konflik kepentingan platform penyedia pelatihan tersebut.
KPK meminta pemerintah untuk meminta pendapat hukum atau legal opinion kepada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung tentang kerja sama dengan delapan platform digital itu. Pendapat hukum itu terkait apakah kedelapan kerja sama platform itu termasuk dalam cakupan pengadaan barang dan jasa (PBJ) pemerintah.
Mereka adalah Tokopedia, Bukalapak, Pijar Mahir, Sekolah.mu, Pintaria, Skill Academy, MauBelajarApa, dan Kementerian Tenaga Kerja. "Terdapat konflik kepentingan pada lima dari delapan platform digital dengan lembaga penyedia pelatihan. Sebanyak 250 pelatihan dari 1.895 pelatihan yang tersedia adalah milik lembaga penyedia pelatihan yang memiliki konflik kepentingan dengan platform digital," ungkap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam paparannya, Kamis (18/6).
Rekomendasi lainnya terkait penggunaan pengenalan wajah atau face recognition untuk kepentingan pengenalan peserta. Dengan anggaran Rp 30,8 miliar, kebutuhan tersebut dinilai tidak efisien. KPK menilai penggunaan NIK dan keanggotaan BP Jamsostek sudah memadai.
Selanjutnya, terkait dengan kurasi materi pelatihan. Menurut KPK, kurasi itu tidak dilakukan dengan kompetensi yang memadai sebab pelatihan yang memenuhi syarat, baik materi maupun penyampaian secara daring, hanya 13 persen dari 1.895 pelatihan.
KPK juga meminta pelatihan yang sebenarnya sudah ada secara gratis di internet tak perlu dimasukkan dalam bagian dari Kartu Prakerja. Pelaksanaan pelatihan daring juga harus memiliki mekanisme kontrol agar tidak fiktif.