Senin 15 Jun 2020 13:57 WIB

Perludem: Pilkada di Tengah Pandemi Butuh Kerangka Hukum

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada hanya mengatur keadaan darurat. 

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus Yulianto
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) masih mendorong Pilkada 2020 ditunda hingga 2021 agar waktu persiapan tahapan pemilihan lanjutan lebih panjang. Manajer Program Perludem, Fadli Ramadhanil mengatakan, penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi Covid-19 membutuhkan landasan hukum karena regulasi yang ada hanya mengatur dalam kondisi nornal.

"Kita harus mengakui bahwa saat ini kita tidak punya kerangka hukum di level undang-undang untuk menyelenggarakan pilkada di tengah bencana," ujar Fadli dalam diskusi virtual 'Milih Kepala Daerah di Tengah Wabah', Ahad (14/6).

Dia menjelaskan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada hanya mengatur keadaan darurat atau bencana dalam sebagian wilayah saja. Tidak seperti Covid-19 yang ditetapkan menjadi bencana nasional, bahkan hampir seluruh daerah penyelenggara Pilkada 2020 terpapar virus corona.

Penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi juga tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada. Perppu ini hanya mengatur penundaan dan penjadwalan kembali pemungutan suara Pilkada 2020 menjadi Desember dari jadwal semula September akibat Covid-19.

"Itu tidak mengatur sama sekali pilkada di tengah bencana. Tapi karena kemudian pilkada terus didorong di tengah kondisi pandemi, perlu kerangka hukum yang mengatur detail teknis pemilu terutama penyesuaiannya dengan protokol kesehatan," jelas Fadli.

Dia mengatakan, setidaknya Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sedang menyusun Peraturan KPU (PKPU) tentang pilkada dalam kondisi bencana nonalam Covid-19. Akan tetapi, regulasi mengenai ketentuan pelaksanaan tahapan pilkada dengan menyesuaikan standar protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19 belum juga diundangkan.

Padahal, KPU akan memulai kembali tahapan pemilihan serentak di 270 daerah pada Senin (15/6). KPU juga perlu melakukan sosialisasi PKPU kepada jajaran penyelenggara pemilu, peserta pilkada, pemilih, maupun masyarakat umum.

"Sampai hari ini PKPU juga belum diundangkan. Diuji publik oleh KPU secara daring, perlu penyesuaian oleh KPU sebelum diundangkan," kata Fadli.

Sementara itu, jika PKPU pilkada dalam kondisi pandemi Covid-19 terbit, potensi masalah tidak lantas berhenti begitu saja. Misalnya, dalam rancangan PKPU tersebut, terjadi penyesuaian metode pemutakhiran data pemilih dari pilkada sebelumnya.

Saat ini, KPU menerjemahkan ketentuan dalam UU Pilkada ke PKPU bahwa proses pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih dapat dilakukan melalui data RT atau sebutan lainnya. Implementasi pada pemilu sebelumnya dilakukan dengan mendatangi warga satu per satu atau metode sensus.

"Misalnya pendaftaran pemilih itu kan ada mekanisme penyelenggaraan berbasis RT dan RW. Padahal di UU pilkada, sebelumnya melalui proses teknis coklit dari rumah ke rumah, demikian juga aturan UU Pemilu sebelumnya soal pendaftaran pemilih," tutur Fadli.

Di sisi lain, Komisioner KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan, rancangan PKPU tentang pilkada dalam kondisi bencana nonalam Covid-19 masih menunggu jadwal konsultasi bersama Komisi II DPR RI dan pemerintah agar bisa segera diharmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM. Menurut dia, konsultasi akan digelar pada Selasa (16/6) atau Rabu (17/6).

"Kami masih menunggu, jadi informasi awal yang kami dapat mungkin kalau tidak Selasa atau Rabu," ujar Raka saat dikonfirmasi Republika, Ahad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement