REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti rencana kenaikan gaji pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sempat meredup. Jika itu benar, ICW menyebut Ketua KPK Firli Bahuri telah berbohong kepada publik. Karena Firli pernah mengatakan bahwa seluruh pimpinan meminta usulan ini untuk dibatalkan dan tidak lanjutkan pembahasannya
"Saat ini pembahasan intensif antara Kementerian Hukum dan HAM dengan KPK terkait rencana kenaikan gaji Pimpinan KPK masih dilakukan. Meskipun sebelumnya isu ini sempat redup, namun diam-diam pembahasan soal ini terus berlanjut," keluh peneliti ICW Kurnia Ramadhana saat dikonfirmasi Republika.co.id, Selasa (9/6).
Menurut Kurnia, karena pembahasan mengenai hal ini ternyata masih berlanjut. Hal ini sangat mungkin terjadi karena Pimpinan KPK tidak secara tegas menolak melakukan pembahasan kenaikan gaji mereka secara resmi. Hal ini sudah merupakan wujud nyata dari konflik kepentingan dan berpotensi terlibat langsung dalam konflik kepentingan.
"Pembahasan kenaikan gaji Pimpinan KPK dengan pihak Kemenkunham menimbulkan potensi kuat terjadinya konflik kepentingan. Pada situasi seperti itu, Pimpinan KPK tidak akan dapat menghitung dan memutuskan secara objektif berapa gaji yang mereka layak dapatkan," kata Kurnia.
Kurnia mengatakan, rencana kenaikan itu, tidak sebanding dengan kinerja. Mengingat beberapa waktu lalu lembaga survei Indikator melansir data terkait tingkat kepercayaan publik pada institusi negara. Temuannya menunjukkan, tingkat kepercayaan publik kepada KPK menurun dari 81,3 persen menjadi 74,3 persen.
"Tentu hal ini tidak bisa dilepaskan dari kepemimpinan Firli Bahuri yang sebenarnya minim akan prestasi. Masyarakat terlalu banyak dihadapkan dihadapkan dengan serangkaian kontroversi KPK," terangnya.
Selain itu, menurut Kurnia, saat ini momentumnya tidak tepat untuk membahas kenaikan gaji pimpinan KPK. Karena saat ini Indonesia tengah berada di situasi pelik akibat wabah Covid-19.
Semestinya sebagai pejabat publik para Pimpinan KPK memahami dan menyadari bahwa penanganan wabah Covid-19 di Indonesia membutuhkan alokasi dana yang luar biasa besar. Sehingga saat ini bukan waktunya untuk memikirkan diri sendiri dengan permintaan kenaikan gaji tersebut.
Selanjutnya, Kurnia menyatakan, rencana itu juga bertolak-belakang dengan pesan moral KPK. Lembaga antirasuah itu dalam berbagai kegiatan selalu menyuarakan untuk menjalankan pola hidup sederhana. Bahkan poin soal “sederhana” ini juga tercantum dalam sembilan nilai integritas yang dibuat KPK. Mengingat gaji Pimpinan KPK saat sudah tergolong besar, yakni Rp 123 juta bagi Ketua KPK dan Rp 112 juta bagi Wakil Ketua KPK.
Hal itu, sambung Kurnia, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2015 tentang Hak Keuangan, Kedudukan, Protokol, dan Perlindungan Keamanan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, tentu menjadi tidak tepat jika Pimpinan KPK terus ‘mengemis’ untuk mendapatkan kenaikan gaji.
Berdasarkan poin-poin tersebut, ICW, menuntut agar Pimpinan KPK menunjukkan sikap dan prinsip yang jelas akan nilai-nilai integritas, sesuatu yang selama ini menjadi nilai lebih KPK daripada Lembaga lain.
"Dengan menolak secara resmi pembahasan kenaikan gaji Pimpinan KPK. Jika Pimpinan KPK hendak membahas hal tersebut, agar tidak menimbulkan konflik kepentingan, kebijakan itu baru bisa berlaku bagi Pimpinan KPK berikutnya," kata Kurnia.