REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menyatakan, tatanan new normal merupakan wacana, belum menjadi keputusan pemerintah. Ada perhitungan matematis yang dilakukan untuk memutuskan konsep tatanan kehidupan normal yang baru saat pandemi corona tersebut.
"Ada wacana, belum keputusan. Wacana bagaimana tentang new normal itu. Oleh karena itu ada model-model perhitungan," ungkap Mahfud dalam kegiatan halal bihalal Idul Fitri Keluarga Besar Universitas Sebelas Maret secara daring, Selasa (26/5).
Ia menceritakan, ada tiga sumber yang berdiskusi di dalam sidang kabinet yang teridiri dari menteri, Ketua Badan Perencanaan Nasional (Bapennas), dan perwakilan dari Kantor Staf Presiden (KSP). Semuanya berdiskusi untuk membahas konsep tersebut.
Salah satu dasar yang dijadikan perhitungan ialah angka penularan dari satu orang ke orang lain atau biasa disebut sebagai reproduction number. Ia memberi contoh, di DKI Jakarta saat ini angka reproduction number-nya 0,9. Ada sembilan provinsi yang saat ini yang memiliki angka reproduction number di bawah satu.
"Lumayan bagus. Tapi ada juga yang tinggi sekali, di Gorontalo, Jawa Timur, dan macam-macam itu. Itu ada perhitungannya. Nah di dalam keadaan itulah kita berpikir bagaimana kita hidup normal dengan fakta-fakta itu," jelasnya.
Ia mengatakan, wacana tersebut berkembang juga karena terdorong faktor ekonomi. Dengan pembatasan terus-menerus, orang akan kesulitan untuk berjualan maupun membeli barang-barang yang dijual.
Meski begitu, ia memahami adanya pro-kontra soal keputusan pemerintah dalam menangani wabah Covid-19. Menurutnya, perbedaan pendapat bahkan terjadi di dalam satu profesi, baik dokter, ulama, sosiolog, maupun yang lainnya.
"Kita harus mengambil keputusan yang terbaik. Bagaimana yang terbaik, mari kita diskusi, belum ada keputusan soal itu, semua masih dalam wacana dan kontroversi masih ada," kata dia.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada hari ini meninjau kesiapan sarana publik untuk menerapkan prosedur new normal dari pandemi corona. Setelah meninjau kesiapan sarana di Stasiun MRT Bundaran Hotel Indonesia, Selasa (26/5) pagi, Jokowi juga berkunjung ke Mal Summarecon Bulevar di Bekasi, Jawa Barat.
Saya meninjau kesiapan penerapan prosedur tatanan baru di Stasiun MRT di Jakarta, pagi tadi.
Mulai hari ini, anggota TNI dan Polri akan disebar ke titik-titik keramaian di 4 provinsi dan 25 kab/kota untuk mengingatkan masyarakat agar menerapkan kedisiplinan protokol kesehatan. pic.twitter.com/GVYYnFEV5m
— Joko Widodo (@jokowi) May 26, 2020
Menurut Jokowi, ada provinsi yang menjadi percontohan dalam persiapan penerapan new normal adalah DKI Jakarta, Gorontalo, Sumatra Barat, dan Jawa Barat. Sementara 25 kabupaten dan kota yang masuk dalam kebijakan ini termasuk Surabaya dan Malang.
"Kita ingin sekali lagi bisa masuk ke normal baru. Masuk ke tatanan baru dan kita ingin muncul sebuah kesadaran yang kuat, muncul sebuah kedisiplinan yang kuat sehingga R0 bisa terus kita tekan di bawah 1," jelas Jokowi.
Pengamat sosial Devie Rahmawati menilai, pemerintah harus menyamakan pesan dalam menyosialisasikan penerapan tatanan kehidupan normal baru guna menghadapi pandemi Covid-19. Akademisi Universitas Indonesia itu mengatakan pemerintah harus mengkoordinasi kementerian dan lembaga agar menyampaikan pesan yang sama mengenai penerapan protokol kesehatan dalam tatanan normal baru serta tegas dalam menjalankan aturan mengenai pembatasan sosial.
"Jika terjadi hal itu (ketidaksamaan pesan), tidak akan mampu membuat masyarakat memahami situasinya lalu kemudian menjalankan amanah negara tentang new normal (normal baru) karena masyarakat berada dalam kebingungan," kata dia.
Devie juga mengemukakan pentingnya upaya berlanjut dalam menyosialisasikan aturan-aturan berkenaan dengan tatanan normal baru.
"Jangan pernah berharap sekali sosialisasi masyarakat akan mengerti dan yang kedua pemerintah perlu menggunakan semua saluran yang ada untuk berkomunikasi," katanya.
Ia mengemukakan pentingnya konsistensi pemerintah dalam menjalankan komunikasi risiko karena masyarakat Indonesia memiliki kelenturan dalam menerima informasi baru. Dalam arti, dapat melupakan informasi yang sudah disampaikan sebelumnya jika ada informasi baru yang muncul.