Jumat 22 May 2020 15:54 WIB

Ancaman Klaster Baru Covid-19 dari Pelaksanaan Pilkada

Seandainya tetap terlaksana Pilkada harus dilakukan dengan protokol kesehatan.

Pilkada (ilustrasi). Pelaksanaan Pilkada 2020 disarankan ditunda hingga pandemi Covid-19 sudah terkendali.
Foto: Republika/ Wihdan
Pilkada (ilustrasi). Pelaksanaan Pilkada 2020 disarankan ditunda hingga pandemi Covid-19 sudah terkendali.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Mimi Kartika, Antara

Pandemi Covid-19 di Tanah Air masih belum bisa dipastikan kapan akan bisa terkendali. Pelaksanaan Pilkada tahun ini pun diliputi ketidakpastian.

Baca Juga

Saran untuk menunda Pilkada hingga Covid-19 benar-benar sudah terkendali muncul. Ada kekhawatiran Pilkada bisa menimbulkan klaster baru penyebaran Covid-19 sebab Indonesia belum mempraktikkan pemungutan suara secara daring.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Ahmad Sabiq mengharapkan tahapan pemilihan kepala daerah yang akan dilanjutkan kembali mulai awal Juni 2020 tidak memicu terjadinya klaster baru dalam penyebaran Covid-19. "Jangan sampai ada klaster pilkada dalam penyebaran Covid-19," kata pengampu mata kuliah Teori Partai Politik dan Sistem Pemilu FISIP Unsoed itu saat dihubungi di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (22/5).

Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana melanjutkan kembali tahapan Pilkada serentak 2020 pada tanggal 6 Juni setelah sempat tertunda akibat pandemi Covid-19. Menurut dia, apa yang disampaikan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto agar tahapan Pilkada serentak tersebut ditunda hingga berakhirnya pandemi Covid-19 itu merupakan saran yang benar.

"Kalau pandangan saya, pandemi (Covid-19) ini kan belum berakhir. Apa yang dikatakan Menkes itu betul. Bahkan, kalau kita lihat trennya di tingkat nasional cenderung naik," katanya.

Menurut dia, KPU sebaiknya lebih mengutamakan untuk mementingkan keselamatan jiwa karena sudah ada bukti-bukti kesehatan ditambah dengan saran dari Menkes. Sehingga sebaiknya tahapan pilkada tersebut ditunda lebih dahulu.

"Artinya, tidak ada sesuatu yang mendesak dan kemudian harus tetap dilaksanakan. Tidak ada alasan yang kemudian membuat itu tetap dilaksanakan di tengah pandemi. Apalagi dari sisi regulasi memungkinkan untuk ditunda lagi saat situasi memang belum aman," jelasnya.

Ia mengatakan jika tahapan pilkada kembali dilanjutkan pada tanggal 6 Juni 2020 itu merupakan keputusan yang terlalu tergesa-gesa. Selain itu, kata dia, harus dilihat bahwa situasi saat sekarang memang sedang tidak dalam kondisi normal sehingga hal itu harus dipertimbangkan oleh KPU.

"Jangan sampai nanti ada klaster Pilkada (dalam penyebaran Covid-19). Apalagi sudah ada beberapa opsi penundaan pilkada hingga Desember 2020, Maret 2021, atau September 2021, sehingga bisa dipilih yang paling aman bagi semua stakeholder pilkada," katanya.

KPU merencanakan tahapan Pilkada serentak 2020 yang sempat tertunda dimulai kembali pada tanggal 6 Juni. "Jadwalnya kalau semula kami rancang 30 Mei itu sudah dimulai. Akan tetapi, karena kemarin Perppu-nya juga agak mundur, terus dimundurkan jadi 6 Juni, mohon bisa diberikan pandangan-pandangannya," kata Ketua KPU RI Arief Budiman dalam uji publik daring Rancangan Peraturan KPU tentang Perubahan Tahapan di Jakarta, Sabtu (16/5).

Anggota KPU Pramono Ubaid Tanthowi memaparkan pada tahapan pilkada lanjutan yang akan dimulai 6 Juni 2020 tersebut penyelenggara akan mengaktifkan kembali badan ad hoc yang telah direkrut sebelumnya. "Pada tanggal 6 Juni itu bisa kami lanjut kerja panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan panitia pemungutan suara (PPS), itu terhitung sejak diaktifkan kembali," katanya.

Menurut Pramono, PPK dan PPS sebenarnya sudah direkrut pada bulan Maret 2020. Namun, masa kerjanya dihentikan sementara karena adanya penundaan tahapan.

Pada tanggal 13 Juni, KPU merencanakan merekrut petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP). Awalnya rencana pembentukan PPDP itu pada tanggal 26 Maret 2020.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Abhan, mengatakan saat ini KPU berasumsi status darurat bencana Covid-19 akan dicabut sehingga Juni tahapan pemilihan dapat dilanjutkan kembali. Selain status darurat dicabut, kondisi Indonesia juga harus dinyatakan aman untuk pelaksanaan Pilkada serentak di 270 daerah.

"Apakah pasca 29 Mei ini sudah tidak ada lagi darurat Covid, apakah dinyatakan aman kemudian bisa dilaksanakan, tentu penyelenggara khususnya KPU juga akan melaksanakan seandainya dinyatakan aman," kata Abhan.

Di sisi lain, apabila pemerintah telah menyatakan keadaan aman pada akhir Mei, Bawaslu tetap meminta agar standar protokol pencegahan Covid-19 diterapkan. Setidaknya jajaran penyelenggara pemilu mulai dari badan ad hoc dibekali protokol minimali pencegahan penyebaran Covid-19, seperti pengadaan hand sanitizer, pemakaian masker, dan sarung tangan.

"Pokoknya standar protokol pencegahan Covid harus jalan. Baik kepara penyelenggara maupun kalau ada kontak-kontak dengan masyarakat, itu yang harus mengedepankan protokol penanganan Covid," tutur Abhan.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai, meskipun pandemi belum berakhir, pemerintah harus tetap melaksanakan Pilkada di tahun 2020. Ia menilai penundaan selama tiga bulan cukup untuk menyiapkan Pilkada di tengah wabah.

"Pemerintah sebaiknya memastikan pelaksanaan Pilkada tetap digelar pada Desember, karena akan berimbas pada proses regenerasi politik dan pembangunan daerah, KPU seharusnya tidak menjadikan wabah sebagai alasan untuk menunda kembali, kecuali mereka memang gagal menyiapkan keperluan pelaksanaan," kata Dedi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (21/5).

Dedi menilai KPU semestinya memiliki skema alternatif berupa tatalaksana di masa pandemi agar tetap menggelar Pilkada Serentak 2020. Dosen komunikasi politik Universitas Telkom tersebut meyakini proses Pilkada dapat dilaksanakan dalam masa pandemi, meskipun dalam tahapan ada yang perlu dievaluasi.

"Evaluasi terutama soal penghapusan agenda kampanye terbuka, sementara proses pemilihan sangat mungkin dilaksanakan tanpa ada kerumunan massa," ujarnya.

Menurut analisanya, terlalu lamanya penundaan pilkada bisa berisiko pada terganggunya proses regenerasi politik. Selain itu dirinya juga khawatir jika negara harus menambah biaya Pilkada hanya karena penundaan.

"Anggaran adalah hal paling sensitif, apa yang sudah disiapkan pada tahun ini, bisa jadi terpakai begitu saja tanpa hasil, sementara kondisi negara sedang berhemat luar biasa. Hal penting lainnya, proses regenarasi yang terhambat" tuturnya.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto sempat mengusulkan penundaan Pilkada dilakukan setelah WHO mencabut status pandemi global. Terawan mengatakan jika status pandemi berakhir, maka setidaknya levelnya akan turun menjadi endemi atau wabah tingkat nasional. Pada level ini bisa diprediksi kapan berakhirnya Covid-19.

"Setelah pandemik dunianya ini dicabut oleh WHO, atau tidak pandemik lagi, mungkin kita bisa melakukan pentahapan; karena jadinya endemi atau wabah yang sifatnya nasional, sehingga kita bisa memprediksikan," ujarnya menambahkan.

Terawan mengatakan jika status pandemik, yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, belum dicabut, maka situasi kesehatan dan kebijakan negara-negara di dunia, termasuk di Indonesia, tidak bisa dipastikan. "Soalnya, kalau pandemiknya belum berhenti, pandemik yang ditetapkan WHO ini belum berhenti, rasanya semuanya masih unpredictable, karena ini adalah situasi dunia," katanya.

Jika kegiatan politik tersebut tetap dilakukan di masa pandemik, lanjut dokter militer itu, maka akan menjadi tidak etis karena negara-negara lain masih berkutat dengan upaya penanganan Covid-19. "Rasanya tidak elok. Kita juga melihat negara-negara lain, kalau kita menyelenggarakan sendiri, rasanya juga lucu, karena ini adalah kondisi pandemik yang sedang mewabah di seluruh dunia," ujarnya.

photo
Infografis Sanksi tak Pakai Masker Saat PSBB - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement