REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tim Advokasi UU KPK menggantungkan harapan terakhir kepada Mahkamah Konstitusi sebagai penyelamat Komisi Pemberamtasan Korupsi (KPK) dan Pembentukan Undang-Undang di masa depan. Saat ini, sidang uji formil dan materil UU KPK di Mahkamah Konstitusi telah memasuki tahapan pemeriksaan ahli-ahli.
"Artinya, sidang segera memasuki babak akhir. Hal ini juga berarti hampir genap lima bulan pelemahan KPK melalui Revisi UU KPK terjadi," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam pesan singkatnya, Senin (9/3).
Kurnia menuturkan, selama lima bulan, pelemahan mencolok yang diketahui publik adalah nyaris tidak adanya OTT dan penyadapan. Di sisi lain, penyidik dan penuntut yang bekerja untuk terjadinya OTT dan langkah-langkah lain dalam kerangka penyidikan dan penuntutan kasus korupsi dikembalikan ke instansi asal.
"Pemohon uji formil UU KPK, yaitu Agus Raharjo, dkk telah meminta sejak awal permohonan agar MK mengabulkan permohonan provisi untuk menunda keberlakuan Revisi UU KPK tersebut," tuturnya.
Namun, hingga sidang berjalan hampir tiga bulan belum ada pembahasan mengenai permohonan provisi tersebut. Mengingat pasal 58 UU MK mengatur bahwa putusan Mahkamah tidak berlaku surut, maka untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional para Pemohon putusan sela ini diperlukan.
Kurnia mengungkapkan, permohonan penundaan keberlakuan UU pernah dikabulkan dalam perkara pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), perkara Nomor 133/PUU-VII/2009. Putusan sela pada intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 30 UU KPK mengenai pemberhentian pimpinan KPK yang menjadi terdakwa tidak dapat dilaksanakan terlebih dahulu sebelum ada putusan MK mengenai pengujian pasal dimaksud.
"Persidangan MK juga memegang peranan maha penting, karena bersifat terbuka, untuk mengungkap kesimpangsiuran proses revisi UU KPK. Sayangnya, Presiden tidak hadir pada saat Pemerintah diberi kesempatan untuk menanggapi," katanya.