Kamis 27 Feb 2020 06:44 WIB

Tim Advokasi: Penanganan Kasus Novel tidak Profesional

Tim Advokasi menilai penanganan kasus Novel Baswedan tidak profesional.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Penyidik KPK Novel Baswedan
Foto: Republika/Thoudy Badai
Penyidik KPK Novel Baswedan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Advokasi Novel Baswedan menanggapi kabar bahwa Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah menyatakan berkas perkara penyidikan kasus Novel Baswedan sudah lengkap atau P21. Tim advokasi menilai, pengananan perkara penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut dari penyidikan hingga sekarang pada tahap prapenuntututan di Kejati DKI Jakarta dilakukan secara tidak profesional dan tertutup.

Alasannya karena, sejak awal penyidikan terdapat berbagai kejanggalan proses. Oleh karenanya, Tim Advokasi Novel Baswedan menuntut agar Presiden RI Joko Widodo untuk memastikan pengungkapan kasus dan penegakan hukum dalam perkara penyerangan dan upaya penghalang-halangan penegakan hukum terhadap Pegawai dan Pimpinan KPK, sebagai garda depan pemberantasan korupsi.

Untuk Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta juga diminta agar meninjau ulang proses prapenuntutan perkara ini dengan memperhatikan temuan-temuan kejanggalan dan temuan Komnas HAM. "Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mengadakan prapenuntutan dengan memeriksan ulang keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti serta fakta-fakta lain yang menjadi kunci pengungkapan perkara penyerangan terhadap NB sebagai Penyidik KPK," ujar Anggota Tim Advokasi, Alghiffari Aqsa dalam keterangannya, Kamis (27/2).

Tim Advokasi juga mendesak Kapolri memerintahkan Propam Mabes Polri mengadakan pemeriksaan untuk menindaklanjuti temuan Komnas HAM mengenai abuse of process yang dilakukan Penyidik Polri. Terakhir, Tim Advokasi meminta Kompolnas mengawal dan mengadakan pemeriksaan tersendiri menindaklanjuti temuan Komnas HAM mengenai abuse of process yang dilakukan penyidik Polri.

Adapun dugaan tidak profesionalnya penyelesaian perkara ini diantaranya yakni barang bukti yang hilang atau berkurang yaitu cangkir dan botol yang diduga digunakan pelaku sebagai alat yang menyiram tidak disimpan dan didokumentasikan dengan baik. Polisi juga memunculkan kesan tidak terdapat bukti.

"CCTV, data pengguna telepon (cell tower dump) dan saksi-saski tidak seluruhnya diambil dan didengar keterangannya. Komnas HAM telah melakukan pemantauan dan menemukan abuse of process dari penyidik Polri," kata Alghiffari.

Kemudian, lanjut dia, juga muncul beberapa sketsa yang dibuat sendiri oleh polisi berdasarkan keterangan beberapa saksi. Tetapi kemudian tidak satupun yang dijadikan dasar menangkap terduga pelaku.  Alghiffari melanjutkan, bahwa jenis kasus yang awalnya tergolong kasus sedang menjadi kasus sulit karena penanganan yang berlarut-larut (undue delay) hingga hampir 3 tahun.

Selain itu, juga tidak terdapat penjelasan dan uraian logis mengenai hubungan terduga pelaku yang ditangkap oleh Polri dengan bukti-bukti dan keterangan saksi yang didapatkan pada periode-periode awal penyidikan. Misalnya, hubungan terduga pelaku yang ditangkap dengan sketsa dan keterangan-keterangan primer saksi-saksi serta temuan Tim Satgas Gabungan Bentukan Kapolri 2019.

"Tidak terdapat penjelasan terkait penggunaan pasal pidana pengeroyokan (170 KUHP) oleh Polda Metro Jaya yang kemudian dinyatakan lengkap oleh Kejati DKI," ujarnya.

Sementara, sambung dia, terdapat fakta-fakta yang mengindikasikan kuat bahwa penyerangan terkait dengan pekerjaan Novel Baswedan di KPK yang tujuannya mematikan, melumpuhkan, luka berat dan direncanakan. Alghiffari mengatakan, ketidakprofesional juga tampak karena Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menangani perkara secara tertutup dan tidak memaksimalkan kewenangan prapenuntutan.

Tim Advokasi selain telah menyampaikan masukan terhadap penuntasan perkara ini di penyidikan juga telah melayangkan surat permohonan audiensi ke Kejati DKI Jakarta pada 12 Februari 2020.  "Namun, hingga saat ini Kejati DKI Jakarta tidak memberikan tanggapan hingga Tim mendapat kabar bahwa berkas penyidikan dianggap lengkap. Seolah-olah Kejati DKI Jakarta hanya jadi tukang stempel berkas kepolisian dan mengantarkannya ke pengadilan," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement