Rabu 19 Feb 2020 06:09 WIB

Pasal 170 RUU Cipta Kerja dan Analisis Bukan Hasil Salah Tik

"Kalau salah tiknya satu pasal dan sistematis, kan aneh," kata Erasmus Napitupulu.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kelima kiri) didampingi Menteri BPN Sofyan Djalil (kiri), Menkum HAM Yasonna Laoly (kedua kiri), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (ketiga kiri), Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) menyerahkan surat presiden (surpres) tentang Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja kepada pimpinan DPR Puan Maharani (ketiga kanan), Aziz Syamsuddin (kedua kiri) dan Rachmat Gobel (tengah) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kelima kiri) didampingi Menteri BPN Sofyan Djalil (kiri), Menkum HAM Yasonna Laoly (kedua kiri), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (ketiga kiri), Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) menyerahkan surat presiden (surpres) tentang Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja kepada pimpinan DPR Puan Maharani (ketiga kanan), Aziz Syamsuddin (kedua kiri) dan Rachmat Gobel (tengah) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/2/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Sapto Andika Candra, Dessy Suciati Saputri

Pasal 170 yang termuat dalam draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja Dinilai harus dicabut. Bahkan, muatan dan poin yang memperbolehkan pemerintah untuk mengubah undang-undang (UU) dengan Peraturan Pemerintah (PP) itu dinilai terlalu memalukan karena menabrak konstitusi.

Baca Juga

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mempertanyakan kredibilitas tim dari pemerintah yang tidak memahami konsep dan hierarki perundang-undangan. Ia menilai sebaiknya pemerintah menarik terlebih dahulu draf RUU tersebut.

"Ini masalah kredibilitas saja. Kalau saya jadi pemerintah sih tarik dulu drafnya, baru diomongin lagi begitu. Jadi kalau misalnya tetap didorong ke DPR malu-maluin menurut saya. Tak perlu panjang-panjang soal teori, itu malu-maluin," kata Erasmus saat dihubungi Republika, Selasa (18/2).

Secara mekanisme, pasal tersebut bisa dihapus saat pemerintah melakukan pembahasan bersama DPR RI. Namun, poin yang termuat dalam pasal 170 RUU Cipta itu terlalu banyak menabrak undang-undang. Tak tanggung-tanggu, konstitusi UUD 1945 telah dilanggar bila merujuk pada isi Pasal 170 RUU Cipta Kerja yang terdiri dari tiga ayat itu.

Jika merujuk pada pasal yang diklaim pemerintah salah tik itu, Presiden bakal memiliki kuasa luar biasa mengubah UU. Kewenangan DPR disunat. Bahkan kata Erasmus, pasal itu bisa mengubah sistem pemerintahan di Indonesia.

"Bagusnya ya itu tidak boleh ada. Itu pasal sama kaya kita merubah bentuk negara. Konstitusi jelas bilang tidak boleh. Itu sama saja, pemerintah tidak perlu bertanya lagi, ya hapuslah," kata dia.

Erasmus pun menilai, klarifikasi pemerintah yang menyebut Pasal 170 merupakan salah tik aneh. Pasalnya, pasal itu terdiri dari tiga ayat yang isinya terkait satu sama lain.

"Kalau salah tiknya satu pasal dan sistematis, itu kan aneh. Sistematis itu kan terkait satu sama lain. Berarti, kan tidak seperti salah ketik. Bagi saya sih itu tidak salah tik, tapi dicoba-coba tapi gagal," ujarnya lagi.

Sementara, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, pasal tersebut bagaimanapun harus dicabut demi hukum. Bila RUU Cipta Kerja dipaksa untuk dilakukan pembahasan di DPR, maka pasal tersebut harus dihapus DPR sebagai pihak yang dipangkas kewenangannya.

"Jadi nanti pada saat pembahasan pasal-pasal yang dianggap tidak perlu atau salah,  itu dilakukan pada saat pembahasan. Itu nanti tinggal diganti atau dihapus saja, pas di DPR. Saat ini bolanya ada di DPR, tinggal DPR menjadwalkan saja kapan itu," kata Bivitri pada Republika, Selasa.

"(Pasal 170) Itu adalah pasal inkonstitusional sebetulnya. Jadi harusnya tidak ada. Harus dihapus," kata Bivitri.

Masih menjadi misteri bagaimana pasal itu muncul dengan struktur bahasa yang rapi dan jelas di draf RUU Cipta Kerja BAB XIII Tentang Ketentuan Lain-lain Pasal 170. Draf RUU Cipta Kerja BAB XIII tentang Ketentuan Lain - lain, Pasal 170 ayat 1 berbunyi, "Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini."

Ayat 2 kemudian menjelaskan, "perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat satu diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP)." Selanjutnya, pada ayat 3, "dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia.

[video] Apa Itu Omnibus Law?

Salah tik

Menko Polhukam Mahfud MD mengakui adanya kesalahan tik dalam draf Omnibus Law RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Pasal 170 Ayat (1). Kesalahan ketik ini disebutnya bermula di salah satu kementerian, yakni Kementerian Koordinator bidang Perekonomian.

"Ya gate-nya di perekonomian itu, cuma saat-saat terakhir ada perbaikan lalu ada keliru itu. Itu saja," ujar Mahfud di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa (18/2).

Menurut dia, kesalahan ketik dalam sebuah rancangan undang-undang merupakan hal yang biasa. Karena itu, pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk turut memantau naskah dan draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.

"Itu sebabnya rakyat diberi kesempatan untuk memantau di DPR dan memantau naskahnya. Oleh karena rakyat diberi kesempatan maka rakyat menjadi tahu seperti anda tahu karena diberi kesempatan untuk tahu dan memperbaiki," jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menepis tudingan bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang sedang digodok memberi celah otoriter bagi pemerintah pusat. Ia menegaskan bahwa secara hierarki perundang-undangan, Peraturan Pemerintah (PP) tak bisa menggantikan atau mengubah Undang-Undang (UU).

"Memang itu ada salah pengertian di sana, bahwa PP itu tidak bisa menggantikan UU," ujar Airlangga di kompleks Istana Kepresidenan, Senin (17/2) sore.

Airlangga pun menolak menjelaskan lebih rinci mengenai poin Bab XIII pasal 170 yang menyinggung 'kewenangan' pemerintah pusat mengubah UU. Menurutnya, ada salah tafsir di pasal tersebut.

"Tidak ada (kesalahan kalimat). Bacanya saja yang belum pas," ujar Airlangga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement