Selasa 18 Feb 2020 21:12 WIB

AJI Pertanyakan Motif Pemerintah Atur Pers di Omnibus Law

Dalam Omnibus Law diatur soal kenaikan denda bagi pers dan penanaman modal asing.

Rep: Ali Mansur, Fauziah Mursid/ Red: Andri Saubani
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menggelar konferensi pers terkait RUU Omnisbus Law Cilaka yang menyasar dunia pers, di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (18/2).
Foto: Republika/Ali Mansur
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menggelar konferensi pers terkait RUU Omnisbus Law Cilaka yang menyasar dunia pers, di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (18/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan menyoroti kemunculan peraturan pers di dalam draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Apalagi pemerintah melakukan kajian Omnibus Law secara rahasia tanpa melibatkan perwakilan pers. Maka dengan demikian, insan patut mencurigai apa yang diinginkan pemerintah lewat Omnibus Law atas dunia pers.

"(Omnibus Law) pembahasannya dilakukan di pemerintah secara rahasia. Bahkan orang yang ikut membahas UU Omnibus Law sampai diminta komitmen tidak membocorkan. Ini menimbulkan pertanyaan besar mau buat UU itu?" ujar Manan saat jumpa pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (18/2).

Baca Juga

Manan melanjutkan, salah satu yang menjadi sorotannya sekaligus kritik adalah Pasal 11 UU 40 Tahun 1999 soal penambahan modal asing. Sebenarnya, ia mengaku, pihaknya tidak melihat urgensinya pasal tersebut.

"Justru pemerintah mengubah, sehingga ada tanda tanya sendiri. Karena pemerintah memasukkan klausul pemerintah pusat," kata Manan dengan heran.

Sebenarnya, menurut Manan, Undang-undang Pers selama ini dinilai masih memadai untuk melindungi kebebasan pers asalkan dilaksanakan dengan konsisten. Termasuk mengenai sanksi denda yang dinaikkan berkalilipat dari Rp 500 juta jadi Rp 2 miliar di dalam Omnibus Law. Ia menilai sanksi denda bagi orang yang melanggar pasal 4 ayat 2 dan 3 adalah bukan solusi untuk menegakkan UU Pers.

Namun, Manan menegaskan, yang lebih utama adalah bagaimana konsistensi dalam implementasinya. Selama ini, tindakan orang yang dinilai melanggar dua ayat itu antara lain berupa kekerasan terhadap wartawan saat menjalankan tugasnya.

"Tindakan itu dikategorikan sebagai melanggar pasal 4 ayat 3 Undang Undang Pers, tapi juga masuk kategori pidana dalam KUHP," katanya.

Selama ini para pelaku kekerasan terhadap wartawan itu lebih sering dijerat dengan KUHP, yang hukumannya lebih ringan. Jika aparat penegak hukum ingin melindungi kebebasan pers, mereka harusnya menggunakan Undang Undang Pers yang sanksinya lebih berat, yaitu bisa dikenai 2 tahun penjara atau denda Rp 500 juta.

"Jika sanksi yang sudah ada selama ini saja jarang dipakai, menjadi pertanyaan bagi kami untuk apa pemerintah mengusulkan revisi terhadap pasal ini?" tanyanya.

Lebih lanjut, pihaknya menangkap kesan pemerintah seperti menjalankan politik lip service, pencitraan, untuk mengesankan melindungi kebebasan pers. Salah satunya dengan cara menaikkan jenis sanksi denda ini. "Bagi kami, yang jauh lebih substantif yang bisa dilakukan pemerintah adalah konsistensi dalam implementasi penegakan hukum Undang Undang Pers," tuturnya.

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate menyatakan, pemerintah terbuka untuk menerima kritikan dan masukan yang bersifat konstruktif dalam proses pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja antara pemerintah dan DPR.

"Jika ada masukan yang konstruktif mohon dapat segera disampaikan agar bisa didiskusikan secara lebih komprehensif pada saat pembahasan dan proses politik di DPR RI," ujar Johnny.

Karena itu, politikus Partai Nasdem itu mempersilahkan pihak-pihak yang keberatan untuk memberikan masukan terhadap poin-poin yang dianggap merugikan kepentingan masyarakat. "Pemerintah menyiapkan ruu cipta kerja dengan maksud yang sangat baik bagi bangsa kita maka tentu akan terbuka untuk setiap diskusi yang konstruktif," ujar mantan anggota Komisi IX DPR tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement