REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi I DPR RI Teuku Riefky Harsya mengingatkan agar perubahan pasal di Omnibus Law RUU Cipta Kerja terkait pers tak boleh mengekang kebebasan pers. Politikus Demokrat ini menekankan, pers harus dijaga dan diperkuat oleh semua pihak.
"Kami menghimbau Pemerintah Indonesia untuk membuat peraturan yang tidak mengekang kebebasan pers, sebagaimana semangat dan jiwa reformasi," ujar Teuku saat dihubungi Republika.co.id, Senin (17/2) siang.
Ia menekankan, berbagai regulasi yang dibuat pemerintah dalam seperangkat Omnibus Law RUU Cipta Kerja jangan sampai mendegredasi kualitas laporan yang dibuat oleh pers. Di lain pihak, pers juga harus terus menjaga netralitas dan profesionalitas demi kualitas produk yang mampu merekatkan masyarakat Indonesia.
"Pers yang menjadi perekat publik juga harus bekerja sesuai nilai dan norma yang ada di masyarakat," ujar legislator asal Aceh itu.
Menurut Riefky, pers selama ini menjadi instrumen penting bagi demokrasi Indonesia. Terlebih, pers menjadi jembatan penghubung publik dengan berbagai instansi pemerintahan. "Oleh karena itu, pers perlu diperkuat dan dijaga oleh semua pihak," ujar Teuku," ujar dia.
Konsep atau draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja memuat dua pasal, yakni pasal 18 dan 11 yang isinya merevisi UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Dua pasal tersebut menambah sanksi denda hingga empat kali lipat pada perusahaan media, dan menambah adanya sanksi administratif.
Pasal 18 di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang selama ini digunakan, pada ayat 1 menyatakan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan peliputan pers dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Lalu, dalam UU dan pasal yang sama, ayat 2 menyatakan, perusahaan pers yang melanggar ketentuan dalam menjalankan tugas pers, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500 juta. Pasal 3 menyebut, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100 juta.
Sedangkan perubahannya di draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja, ayat 1 berbunyi, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar.
Lalu ayat 2 menyatakan, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 2 miliar. Bukan hanya itu, ayat ketiga yang termuat dalam draf RUU Cipta Kerja menambah sanksi administratif, yang sebelumnya tidak ada.
Ayat itu berbunyi, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif.
Adapun dalam ayat berikutnya, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Sementara, revisi dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja pada Pasal 11 sendiri berbunyi: "Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal".
Insan pers yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan LBH Pers mengkritik poin-poin tersebut. Terlebih, adanya sanksi 'administratif' yang bakal membuka pintu pemerintah ikut campur di dalam 'dapur' pers layaknya orde baru.