Ahad 16 Feb 2020 23:15 WIB

Omnibus Law, Bima Arya: Saya tak Setuju IMB Dihapus

Bima Arya menilai yang diperlukan saat ini adalah penyederhanaan izin.

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Bima Arya Sugiarto (kedua kanan) memberi paparan bersama politisi PDI Perjuangan Rokhmin Dahuri (kiri), politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Lidya Hanifa (kedua kiri) dan DirekturIndo Barometer M. Qodari (kanan) dalam rilis survei kinerja evaluasi 100 hari pemerintahan Jokowi-Amin di Jakarta, Ahad (16/2/2020).
Foto: Antara/Reno Esnir
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Bima Arya Sugiarto (kedua kanan) memberi paparan bersama politisi PDI Perjuangan Rokhmin Dahuri (kiri), politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Lidya Hanifa (kedua kiri) dan DirekturIndo Barometer M. Qodari (kanan) dalam rilis survei kinerja evaluasi 100 hari pemerintahan Jokowi-Amin di Jakarta, Ahad (16/2/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  -- Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto tidak menyetujui jika izin mendirikan bangunan (IMB) dihapuskan seiring penyusunan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.  Menurutnya, yang diperlukan saat ini adalah penyederhanaan izin.

"Saya tidak setuju IMB dihapus. Yang diperlukan adalah penyederhanaan rezim perizinan," katanya usai diskusi "Evaluasi Publik dan Isu-Isu Nasional dalam 100 Hari Jokowi-Amin", di Jakarta, Ahad.

Baca Juga

Menurut dia, selama ini perizinan memang sedemikian rumit. Mulai IMB, ada izin lingkungan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), hingga Analisis dampak lalu lintas (Andalalin).

Kewenangan perizinan tersebut juga berbeda-beda. misalnya IMB di pemerintah kota, Andalalin ditangani oleh konsultan, sehingga proses perizinan bisa memakan waktu sampai berbulan-bulan.

"Kalau IMB ini kan wali kota, begitu wali kota lihat ini sudah lengkap semua, kita bisa terbitkan, tapi kalau Amdal dan lingkungan lalin bukan. Jadi, ini harus disederhanakan. Jadi, poinnya adalah penyederhanaan sistem atau rezim perizinan, bukan penghapusan IMB," katanya.

Bima juga menyoroti RUU Cipta Kerja yang di dalamnya mengatur mengenai penetapan upah minimum di tingkat provinsi oleh gubernur sehingga tidak lagi Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).

"Harus dikaji dululah, ya, karena karakteristik tiap kota kan bisa berbeda-beda. Boleh satu Provinsi Jawa barat, tapi antara Kota Bogor dan Kabupaten Bogor bisa berbeda. Jadi, harus hati-hati di situ," ujarnya.

Demikian pula mengenai poin bahwa wali kota atau bupati yang bisa dipecat oleh gubernur dalam RUU Cipta Kerja. Bima berpendapat pikiran untuk mengejar investasi dan pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengorbankan nilai-nilai demokrasi.

Namun, Bima Arya masih belum yakin jika draf Omnibus Law yang beredar itu valid, termasuk soal adanya poin bahwa wali kota dan bupati bisa diberhentikan oleh gubernur.

Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengaku pernah sekilas mendapatkan klarifikasi dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang masih mengklarifikasi draftersebut.

"Tapi poinnya adalah proses Omnibus Law ini harus lebih transparan, inklusif, dan partisipan," kata mantan Wakil Ketua Umum PAN itu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement