Kamis 16 Jan 2020 06:06 WIB

Tiga Utusan PDIP yang Disebut Wahyu Setiawan Makelar PAW

Wahyu Setiawan mengungkap istilah makelar PAW dalam sidang kode etik di DKPP.

Komisioner KPU Wahyu Setiawan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (15/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Komisioner KPU Wahyu Setiawan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (15/1).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Rizkyan Adiyudha, Antara

Komisioner KPU RI Wahyu Setiawa, pada Rabu (15/1) menjalani sidang dugaan pelanggaran kode etik oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Gedung KPK, Jakarta. Wahyu menyebut, istilah makelar ditujukannya terhadap tiga utusan PDI Perjuangan (PDIP) yang meminta pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR kepada caleg PDIP, Harun Masiku.

Baca Juga

"Yang saya maksud makelar ya tiga orang yang menemui saya, karena saya menyampaikan ini prinsipnya tidak bisa. Tapi ada orang-orang yang memperjuangkan itu dengan berbagai cara. Itulah makna makelar yang saya sampaikan," ujar Wahyu dalam persidangan, Rabu.

Ketiga orang yang dimaksud adalah mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, Saeful, dan advokat Doni Tri Istiqomah. Mereka merupakan utusan PDIP yang menemui Wahyu meminta memuluskan PAW Riezky Aprilia untuk Harun Masiku sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024.

Wahyu mengaku telah menyampaikan kepada Ketua KPU RI Arief Budiman dan Komisioner KPU Evi Novida Manik selaku Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik terkait praktik makelar itu. Ia pun meminta KPU segera mengeluarkan surat penolakan permintaan PDIP.

Bahkan, Wahyu meminta Arief Budiman menghubungi Harun Masiku bahwa permintaan PDIP tidak bisa dikaksanakan karena bertentangan dengan undang-undang. Termasuk untuk menyampaikan jika ada makelar.

"Ketua kalau ketua bisa berkomunikasi dengan Harun tolong disampaikan bahwa permintaan PDI-P melalui surat tidak mungkin bisa dilaksanakan, kasihan Harun," kata Wahyu.

"Mungkin Ketua KPU sebagai pihak terkait bisa menyampaikan. Pada waktu itu saya sudah berupaya menyampaikan pada para pihak di forum-forum komisi II (DPR) misalnya. Kita yang punya kenalan sudah menyampaikan," lanjut Wahyu.

Ia mengaku sempat meminta KPU segera mengeluarkan surat penolakan sebagai alasan ketika ada pihak yang menekannya. Anggota DKPP Ida Budhiati kemudian menanyakan terkait kesediaan Wahyu menemui ketiga orang PDIP di luar kantor.

Sebab, hal itu berpotensi melanggar kode etika penyelenggara pemilu. Wahyu mengaku dalam posisi sulit karena ketiga utusan PDIP merupakan teman baiknya.

"Saya dalam posisi yang sulit karena orang-orang itu, ada Mbak Tio, ada Mas Saiful, ada Mas Doni, itu kawan baik saya," ujar Wahyu.

Wahyu mengaku tak memberitahukan pertemuannya dengan orang-orang PDIP kepada anggota KPU lainnya di luar kantor. Akan tetapi, ia mengatakan telah menginformasikan kepada Evi dan Arief terkait hasil pertemuannya.

"Pada waktu akan bertemu saya tidak sampaikan tapi hasil pertemuan saya menyampaikan. Intinya ada situasi trtnti surat mohon dikeluarkan. Tapi pada saat mau bertemu saya tidak menyampaikan," kata Wahyu.

Wahyu juga mengungkap adanya perbedaan pandangan PDIP dan KPU terkait PAW anggota DPR. Ia mengaku beberapa kali berdiskusi dengan orang-orang yang diutus PDIP terkait PAW. Wahyu mengatakan, hanya ada satu mekanisme mengganti anggota DPR yaitu dengan PAW sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Wahyu berpandangan, fatwa Mahkamah Agung (MA) hasil gugatan PDIP tidak dapat dieksekusi KPU karena bertentangan dengan undang-undang. Perselisihan hasil pemilu pun sudah selesai diputuskan hingga KPU menetapkan jumlah kursi partai dan caleg terpilih DPR periode 2019-2024.

Wahyu mengaku tak memperjuangkan apapun terkait usulan PAW PDI Perjuangan. Hal itu, kata dia, bisa ditanyakan kepada Ketua maupun Komisioner KPU lain bahwa dirinya tak memperjuangkan apa-apa.

"Jadi yang mulia saya tidak memperjuangkan apapun dalam hal ini bisa dikonfrontir dengan ketua dan komisioner lain. Itu tidak pernah, dan saya yakin itu (PAW PDI Perjuangan) tidak bisa dilaksanakan," kata Wahyu.

Dalam kasus ini, KPK menetapkan Wahyu Setiawan sebagai tersangka penerimaan suap terkait PAW anggota DPR RI periode 2019-2024. KPK juga turut menetapkan mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, caleg DPR dari PDIP, Harun Masiku serta seorang swasta bernama Saeful.

KPK menduga Wahyu bersama Agustiani Tio Fridelina diduga menerima suap dari Harun dan Saeful. Suap dengan total sebesar Rp 900 juta itu diduga diberikan kepada Wahyu agar Harun dapat ditetapkan oleh KPU sebagai anggota DPR RI menggantikan caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019 lalu.

photo
Petugas Keamanan berjaga di depan Kantror DPP PDI Perjuangan Jalan Pangeran Diponegoro, Jakarta, Rabu (15/1).

PDIP bentuk tim

Sekretaris Jendral PDIP Hasto Kristiyanto, sebelumnya menegaskan, bahwa partainya tidak mengenal negosiasi dalam proses PAW. Alasannya, menurut Hasto, PAW memiliki aturan yang baku.

"Hukum untuk PAW itu sifatnya rigid, sifatnya sangat jelas dan diatur berdasarkan ketentuan suara," kata Hasto Kristiyanto di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat pada Jumat (10/1).

Hasto mengatakan, PDIP pernah memiliki pengalaman ketika ada seorang tokoh partai yang meninggal ketika pemilu. Dia mengatakan, saat itu partai juga menerapkan proses PAW berdasarkan ketentuan dan peraturan perundang-undangan.

"Karena apa pun tanpa legalitas dan konstruksi hukum yang sangat kuat PAW tersebut tidak bisa dilakukan," katanya.

Dia mengungkapkan, KPU telah mengeluarkan surat bahwa apa yang diputuskan dan diusulkan PDIP tidak diterima oleh penyelenggara pemilu. Sehingga, sambung dia, tidak ada gunanya melakukan upaya negosiasi terkait hal tersebut.

Tim Hukum DPP PDIP kemarin, juga meluruskan informasi yang beredar terkait dugaan suap menyangkut Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan caleg PDIP Harun Masiku yang ditangani oleh KPK. Koordinator Tim Pengacara DPP PDIP, Teguh Samudra di Kantor DPP PDIP, Jakarta,menegaskan, PDIP tak pernah mengajukan PAW terhadap Riezka Aprilia dengan calon Harun Masiku.

"Yang benar adalah pengajuan penetapan calon terpilih setelah wafatnya caleg atas nama Nazaruddin Kiemas," kata Teguh.

Menurut dia, persoalan penetapan calon terpilih berdasarkan Permohonan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung RI yang biasa dilakukan oleh partai politik merupakan persoalan sederhana.

"Yakni sebagai bagian dari kedaulatan parpol, yang pengaturannya telah diatur secara tegas dan rigid dalam peraturan perundang-undangan," kata Teguh Samudera, dalam konferensi persnya, Rabu.

PDIP pun membentuk tim hukum guna mencermati proses perkara OTT KPK terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Ketua DPP bidang Hukum Dan Peraturan Perundang-undangan dan HAM Yasonna Laoly menyinggung sejumlah pemberitaan berkenaan dengan OTT terhada Wahyu Setiawan. Dia menilai, bahwa publikasi yang dilakukan telah mengarah ke segala hal tanpa rujukan yang sesuai.

"Belakangan ini nampaknya pemberitaan sudah semakin mengarah ke mana-mana tanpa boleh kami katakan tanpa didukung oleh fakta dan data yang benar," kata Yasonna lagi.

Lebih lanjut, kata Yasonna, dibentuknya tim hukum DPP PDIP untuk meluruskan pemberitaan mengenai keterlibatan DPP PDIP dalam kasus suap Wahyu Setiawan. Yasonna mengatakan, I Wayan Sudiarta yang merupakan anggota Komisi III DPR RI ditunjuk sebagai koordinator tim hukum. PDIP juga menunjuk Yanuar Prawira Wasesa sebagai wakil koordinator dan Teguh Samudera sebagai koordinator tim kuasa hukum.

"Pengesahan surat tugas sudah diteken oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto," katanya.

photo
Kasus Komisioner KPU

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement