REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mengecam Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang tak memenuhi panggilan sidang dugaan pelanggaran kode etik di Dewan Pengawas (Dewas) KPK pada Kamis (2/5/2024). Alasan ketidakhadiran Ghufron karena dirinya saat ini masih menggugat Dewas KPK ke ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Bagi ICW, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk mangkir dari persidangan etik. Sebab, dua proses tersebut pada dasarnya berjalan di rel yang berbeda," kata peneliti ICW, Diky Anandya dalam keterangan pers pada Kamis (2/5/2024).
ICW menilai sikap yang ditunjukkan oleh Ghufron tidak lebih dari sekadar pengecut. Sebab menurut ICW, Ghufron tidak mampu dan tidak berani membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas tuduhan pelanggaran etik yang dilakukannya.
"Apalagi dugaan pelanggaran etik yang diduga dilakukan oleh Ghufron tergolong sebagai pelanggaran serius, dimana dirinya diduga keras menyalahgunakan wewenang, bahkan memperdagangkan pengaruhnya sebagai Wakil Ketua KPK untuk membantu proses mutasi pegawai di Kementerian Pertanian (Kementan)," ujar Diky.
Oleh karena itu, ICW mendorong Dewas KPK segera mengambil langkah tegas untuk menuntaskan perkara ini. Apalagi kasus ini telah mendapatkan atensi masyarakat luas dan demi menjaga citra KPK.
"Jika Ghufron tetap menunjukkan sikap resisten atas proses penegakan etik yang sedang berjalan, maka ICW mendesak pada jadwal sidang selanjutnya, Dewas harus menggelar persidangan secara in absentia atau tanpa kehadiran Ghufron," ujar Diky.
Diky menjelaskan, hal tersebut dimungkinkan dengan merujuk Pasal 7 ayat (4) Perdewas No. 3 Tahun 2021. Pasal itu menyebutkan dalam hal terperiksa tidak hadir untuk kedua kalinya tanpa alasan yang sah, maka terperiksa dianggap telah melepaskan haknya untuk membela diri dan sidang dilanjutkan tanpa kehadiran terperiksa.
"Jika dari bukti dan fakta yang telah dikumpulkan dapat meyakinkan anggota majelis etik atas dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Ghufron, maka bagi kami tidak alasan bagi Dewas untuk tidak menjatuhkan sanksi berat dengan jenis hukuman berupa, “diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan” sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (3) Perdewas No. 3 Tahun 2021," ujar Diky.