Kamis 16 Jan 2020 05:08 WIB

Mengapa Dewas KPK tak Kunjung Terbitkan Izin Geledah PDIP?

Pimpinan KPK menyebut izin dari Dewas untuk menggeledah kantor PDIP belum turun.

Petugas Keamanan berjaga di depan Kantror DPP PDI Perjuangan Jalan Pangeran Diponegoro, Jakarta, Rabu (15/1).
Foto: Thoudy Badai_Republika
Petugas Keamanan berjaga di depan Kantror DPP PDI Perjuangan Jalan Pangeran Diponegoro, Jakarta, Rabu (15/1).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Rizkyan Adiyudha, Mabruroh

KPK hingga Rabu (15/1) diketahui belum juga melakukan penggeledahan di kantor DPP PDI Perjuangan (PDIP) terkait kasus dugaan suap terkait proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI terpilih dari Fraksi PDIP periode 2019-2024 yang menjerat Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Namun, penggeledahan dilakukan penyidik KPK di apartemen milik tersangka kader PDIP, Harun Masiku di Thamrin Residence, Jakarta Pusat, Selasa (14/1).

Baca Juga

Wakil Ketua Komisi Peberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengungkap, izin penggeledahan kantor PDIP dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK hingga Rabu (15/1) pagi belum juga turun. Sehingga, pihaknya masih menunggu persetujuan Dewas dan tidak bisa berbuat apa-apa.

"Sampai saat ini izin penggeledahan Kantor PDIP belum turun, namun kami sudah mengajukan permohonan izin kepada Dewan Pengawas sesuai dengan prosedur," katanya sebelum mengikuti acara pengukuhan guru besar Prof Hary Djatmiko yang juga anggota hakim Mahkamah Agung di Auditorium Universitas Jember, Jawa Timur, Rabu.

Ghufron mengaku tidak tahu alasan Dewas yang belum menerbitkan izin untuk melakukan penggeledahan Kantor PDIP karena hal tersebut yang lebih tahu adalah pemberi izin. Namun, pihak KPK sudah mengajukan permohonan izin tersebut sesuai dengan prosedur.

"KPK akan mematuhi semua prosedur hukum dalam melakukan penegakan kasus hukum, sehingga kami tidak boleh menabrak aturan, meskipun ada tuntutan penanganan kasus korupsi harus progresif," tuturnya.

Saat ditanya apakah Dewas menghambat proses penyidikan di KPK, Ghufron mengatakan masyarakat bisa menilainya sendiri. Namun, secara prosedural pihak KPK sudah mengajukan izin penggeledahan Kantor DPP PDIP itu kepada Dewas.

"Persoalan izin itu diberikan secara cepat atau lambat, kami menyerahkan sepenuhnya kepada Dewan Pengawas. KPK tidak bisa berbuat apa-apa karena sesuai aturan harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas untuk melakukan penggeledahan," ucap mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember itu.

Ghufron mengatakan, penggeledahan tempat-tempat selain kantor KPU RI akan disesuaikan dengan hasil pengembangan pemeriksaan. Seperti, kantor DPP PDIP atau kantor-kantor yang lain akan disesuaikan dengan kebutuhan pemeriksaan penyidik.

"Semua tempat yang akan digeledah akan diberi garis KPK (KPK line) sambil menunggu izin dari Dewan Pengawas turun, sehingga ruangan itu terisolasi untuk mengantisipasi risiko hilangnya alat bukti yang diperlukan KPK," ujarnya.

Ghufron menjelaskan, operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan dilakukan pada Rabu (8/1) sore dan dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan di KPK hingga Kamis (9/1). Kemudian, tim penyidik meminta izin kepada Dewan Pengawas untuk melakukan penggeledahan dan penyidikan di Kantor KPU pada Jumat (10/1).

"Izin dari Dewan Pengawas untuk menggeledah Kantor KPU RI turun pada Sabtu (11/1) malam, sehingga kami sudah melakukan penggeledahan Kantor KPU dan menemukan beberapa dokumen untuk disita," katanya.

photo
Pelantikan Pimpinan KPK. Pimpinan KPK periode 2019-2023 Nurul Ghufron saat dilantik oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12).

Namun, KPK masih menunggu surat persetujuan Dewas untuk melakukan penggeledahan di Kantor PDIP yang belum turun hingga Rabu pagi.

Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, pada Selasa (14/1) mengatakan, adanya izin dari Dewas untuk dilakukannya proses penyadapan, penggeledahan maupun penyitaan adalah informasi yang rahasia. Sehingga dia tidak akan memberikan informasi itu kepada publik.

"Dewas sudah mengeluarkan izin atau belum. Saya tidak akan bisa ngomong itu karena itu adalah yang perlu kami rahasiakan. Itu strategi juga dari penanganan suatu perkara. Kalau saya sampaikan orang yang mau digeledah atau barang yang mau disita, kabur semua itu nanti," ujar Tumpak saat jumpa pers di gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Selasa (14/1).

Tumpak menyatakan, bahwa izin dari Dewas itu merupakan bagian dari proses penyelidikan maupun penyidikan. Bahkan, kata Tumpak, izin Dewas masuk di dalam berkas perkara yang nantinya akan dibawa ke pengadilan.

"Oleh karenanya, izin itu merupakan suatu informasi yang bukan untuk bebas disampaikan kepada publik. Termasuk yang dikecualikan dari undang-undang informasi keterbukaan," ujarnya.

Sebelumnya, ia juga menegaskan bahwa kehadiran dewas bukan untuk menghalang-halangi kinerja KPK. "Saya mau sampaikan kehadiran dewas di dalam KPK ini tidak lah bermaksud untuk mempersulit atau melemahkan atau menghalang-halangi kinerja KPK," tegasnya.

Pihak PDIP kemarin menggelar konferensi pers guna mengklarifikasi perkara OTT KPK) terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. PDIP berpendapat bahwa proses penangkapam itu tidak bisa disebut sebagai OTT.

Juru Bicara Tim Hukum PDIP Teguh Samudra menjelaskan, penangkapan Wahyu Setiawan serta mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina dan pihak swasta Syaiful Bahri tidak dapat dikategorikan sebagai OTT. 

"Karena menurut hemat kami, tidak sesuai dengan definisi Tertangkap Tangan yang diatur di dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP," kata Teguh Samudra di Jakarta, Rabu (15/1).

Teguh menjelaskan, berdasarkan KUHAP, frasa 'tertangkap tangan' adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.

Sedangkan, berdasarkan keterangan KPK perbuatan dugaan tindak pidana yang diduga dilakukan Wahyu dkk terjadi pada pertengahan dan akhir Desember 2019. Adapun,  OTT dilakukan KPK pada Rabu (8/1) lalu.

Teguh mengatakan, tim hukum berpendapat bahwa apa yang dilakukan KPK tidak dapat dikategorikan sebagai OTT jika mengacu pada KUHAP. Menurutnya, KPK hanya melakukan konstruksi hukum berdasarkan penyadapan dan proses penyelidikan berdasarkan surat perintah penyelidikan (Sprin Lidik) yang ditandatangani oleh Ketua KPK pada 20 Desember 2019 lalu saat terjadinya pergantian pimpinan.

Lebih jauh, tim hukum juga menyinggung berkenaan dengan adanya dugaan suap yang dilakukan oleh dua orang staff Sekertaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, penggeledahan kantor PDIP, perihal PTIK dan lain sebagainya. Tim menduga bahwa ada upaya sistematis dari oknum KPK yang melakukan pembocoran atas informasi yang bersifat rahasia dalam proses penyelidikan.

"Hal itu dilakukan dengan maksud untuk merugikan atau menghancurkan PDI Perjuangan," kata Teguh lagi.

photo
Penyidik KPK membawa koper usai melakukan penggeledahan di Jakarta, Senin (13/1). KPK menggeledah ruang kerja Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan selama delapan jam terkait kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji penetapan anggota DPR Terpilih Periode 2019-2024.

Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zainal Arifin Mochtar ikut mengkritisi KPK yang belum juga melakukan penggeledahan di kantor DPP PDIP. Menurutnya, hal tersebut terjadi akibat mengubah UU KPK dengan cara brutal.

“Ini buah dari cara mengubah UU KPK kemarin. Buah dari cara mengubah (Presiden) Jokowi cs dengan partai-partai, mengubah dengan cara brutal, dengan cara yang tidak matang, terburu-buru, tidak pas, inilah buahnya,” kata Zainal dalam sambungan telepon, Senin (13/1).

Zainal menuturkan, harusnya diberikan ketegasan kepada KPK untuk menggunakan UU baru atau lama. Pasalnya, kalaupun menggunakan UU baru namun masih banyak mekanisme yang belum diatur dan balum lengkap, termasuk fungsi Dewan Pengawas KPK.

“UU baru belum operasional, kenapa? Karena aturannya enggak lengkap. Bagaimana mekanisme penertiban belum diatur, bagaimana Dewas menerbitkan surat belum diatur, karena mekanisme untuk penyadapan misalnya harus dengan gelar perkara. Gelar perkara tidak mungkin padahal ini OTT," ujar Zainal.

Kan di situ disebutkan penyadapan hanya boleh dilakukan jika sudah gelar perkara, padahal ini OTT,” sambungnya.

Zainal kembali menegaskan, bahwa UU KPK baru belum bisa diterapkan pada tataran operasional, termasuk bagaimana Dewan Pengawas KPK bertindak. Zainal pun mempertanyakan, apa yang harus dilakukan Dewan Pengawas KPK jika ada permohonan praperadilan,

“Itulah buah bagaimana Jokowi dan partai-partai mengubah UU secara brutal, tidak memikirkan masa depan pemberatasan korupsi,” ucapnya.

Jika seperti ini, tambah Zainal, maka membuka peluang bagi tersangka untuk menghilangkan barang bukti. Dia mencontohkan, bagaimana selama ini penggeledahan dilakukan acara tertutup adalah untuk menghindari memberikan kesempatan kepada tersangka menghilangkan atau menyembunyikan barang bukti.

“Kenapa mekanisme dulu? Supaya enggak sempat diamankan, kalau begini kan sudah diamankan semua. Barang bukti bisa hilang. Ya itulah cara Jokowi merusak pemberantasan korupsi,” tuturnya.

photo
Kasus Komisioner KPU

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement