Kamis 09 Jan 2020 17:00 WIB

Dulu GHB Ditemukan untuk Obat Anestesi

GHB bekerja hilangkan nyeri dan turunkan kesadaran pasien yang akan operasi.

Reynhard Sinaga melakukan perkosaan dan pelecehan seksual diduga kepada lebih dari 200 pria di kamar apartemennya di Manchester, Inggris.
Foto: dok Greater Manchester Police.
Reynhard Sinaga melakukan perkosaan dan pelecehan seksual diduga kepada lebih dari 200 pria di kamar apartemennya di Manchester, Inggris.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mabruroh dan Rr Laeny Sulistyawati

Kasus perkosaan yang dilakukan oleh Reynhard Sinaga membuat publik mengenal adanya obat bernama GHB atau Gamma Hydroxybutyrate. Reynhard disebut menggunakan GHB untuk membius korbannya sebelum melakukan perkosaan.

Baca Juga

Ketua Kajian Obat PB IDI, Rika Yuliwulandari, mengatakan obat GHB ditemukan dan dipergunakan pertama kali sebagai obat anestesi. Namun seiring perjalanan waktu obat GHB tidak lagi disarankan untuk anestesi.

“Ditemukannya sudah lama, dulu ditemukan untuk obat anestesi. Obat untuk menghilangkan nyeri dan menurunkan kesadaran pada pasien-pasien yang akan dilakukan pembedahan (operasi),” ujar Rika dalam sambungan telepon, Kamis (9/1).

Rika melanjutkan, GHB tidak mempunyai efek analgetik yang kuat. Sehingga masih diperlukan tambahan obat lain ketika digunakan untuk anestesi. Selain itu karena efek sampingnya yang jauh lebih banyak sehingga dalam perjalanan waktu ada obat anestesi lain yang lebih baik manfaatnya dan lebih sedikit risikonya.

“Maka akhirnya (GHB) tidak disarankan untuk dipakai lagi,” terangnya.

GHB pun menjadi obat ilegal dan hanya dipasarkan di pasar gelap. “Setahu saya obat GHB ini tidak diresepkan secara legal, mungkin kalau di black market ada,” ujar Rika.

Di apotek resmi, Rika mengatakan GHB tidak tersedia. GHB juga ilegal untuk diresepkan ke pasien.

Belum lama ini penggunaan GHB terbongkar di Korea Selatan. Obat itu banyak digunakan oleh pengunjung kelab malam, sedangkan di Inggris digunakan Reynhard Sinaga untuk membius korbannya.

Dulu GHB pernah digunakan juga sebagai obat terapi suatu penyakit. Namun sayangnya, dibandingkan manfaatnya jauh lebih banyak dampak negatif di dalam GHB.

“Sebenarnya dipakai untuk terapi suatu penyakit tapi perbandingan efek postif dan negatifnya, akhirnya obat lain lebih banyak diresepkan (daripada GHB),” terang Rika.

GHB lanjut Rika, memiliki efek seperti narkotika. Pemakaian yang berkelanjutan berbulan-bulan akan menimbulkan ketergantungan.

Sebagaimana narkoba pada umumnya kata Rika, pemakaian GHB ini bisa menimbulkan rasa senang, ngantuk, terganggunya fungsi motorik bahkan mungkin tidak sadarkan diri, dan juga lupa akan kejadian selama proses intoksikasi itu atau selama proses keracunan obat tersebut.

“Mungkin dosis-dosis di kelab malam itu hanya sebatas agar percaya diri. Agar merasa senang happy, tidak sampai menimbulkan ketidaksadaran,” kata Rika.

Namun lanjut Rika, dengan naiknya dosis dapat menyebabkan kesadaran akan berkurang. Bahkan bila berlebihan dapat menyebabkan kematian.

“Nah berapa tingginya dosis untuk menimbulkan tiap efek itu, setiap orang kan beda-beda kemampuannya merespons terhadap obat. Dan justru karena (GHB) mempunyai efek seperti narkoba, makanya sering disalahgunakan,” ungkap dia.

Obat ini juga tergolong cepat larut dalam urine. Sehingga ketika dituangkan pada malam hari dalam minuman kemudian terbangun pagi hari dan langsung beraktivitas maka sudah terbuang dari tubuh.  

Apalagi lanjut Rika, jika mendeteksi obat GHB dengan alat-alat umum yang biasa digunakan untuk mendeteksi narkoba. Maka tidak heran bila kandungan GHB akan lolos begitu saja dari dalam tubuh tanpa meninggalkan jejak.

 

“Nah memang kalau dengan alat-alat deteksi narkoba yang sekarang memang tidak terdeteksi, karena dia bukan golongan morfin, bisa terdeteksi dengan marker khusus yang mendeteksi GHB ini. Hanya saja alat deteksi narkoba di pasaran belum mencakup ini. Mungkin karena penggunaannya belum seluas narkoba-narkoba yang lainnya, tapi setelah booming ini pasti akan dibuat untuk mendeteksi GHB juga,” terang Rika.

Ilegal di Indonesia

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menegaskan GHB tidak terdaftar di negara manapun, termasuk Indonesia. "GHB tidak pernah terdaftar di negara manapun, apalagi Indonesia. Jadi GHB adalah obat yang tidak terdaftar," ujar Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif BPOM Rita Endang saat dihubungi Republika.co.id.

Selain itu, dia menambahkan, produk obat ini juga tidak beredar di Indonesia. Rita bisa memastikan hal itu setelah berkoordinasi dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menggolongkan GHB sebagai narkoba jenis baru (new psychoactive substances/NPS).

"Memang ada kemungkinan obat ini dibuat secara ilegal di Indonesia ada tetapi hingga saat ini obat itu belum beredar di sini," katanya.

Disinggung mengenai pengawasan GHB ilegal karena faktanya terdapat di Inggris, Rita menyebut GHB merupakan narkotika jenis baru dan pengawasannya di bawah BNN, bukan BPOM.

Ia mengakui GHB sulit untuk diketahui masyarakat awam karena bentuknya yang cair dan tidak berwarna atau berbau. Karena itu, ia meminta masyarakat di daerah yang masih terdapat GHB seperti Inggris harus waspada.

"Hati-hati, jangan mengonsumsi yang bahan bakunya tidak diketahui atau mau menerima sesuatu dari orang tidak dikenal atau orang asing," ujarnya.

Trauma Korban

GHB juga dapat menimbulkan amnesia pada pemakainya. Banyak korban Reynhard Sinaga yang tidak menyadari sama sekali apa yang telah terjadi padanya. '

Dikutip dari BBC, konsultan pelecehan seksual yang bekerja dengan kepolisian Manchester dalam kasus Reynhard, Lisa Waters, mengatakan pada umumnya korban yang mengalami kekerasan atau pelecehan seksual mengetahui ada yang salah dengan dirinya hingga terdorong untuk melapor ke kepolisian.

"Dalam kasus ini, banyak pria tidak menyadari kalau mereka telah menjadi korban pelecehan seksual. Jadi, tiba-tiba mereka dikunjungi polisi, tanpa tahu apa-apa, dan detektif memberi tahu kalau mereka menjadi korban," ujar Lisa.

Lisa menjelaskan, banyak korban yang harus berhadapan dengan dua jenis trauma. Yaitu rasa syok ketika tahu mereka ada korban dan truma kedua yakni akibat pelecehan seksual.

Ia memastikan, korban bereaksi berbeda-beda. "Kami harus memberi kabar mereka dengan sangat hati-hati. Kami tidak tahu apapun tentang para korban, kami tidak tahu apakah mereka punya sejarah masalah psikologis atau pernah jadi korban pelecehan sebelumnya."

Lisa mengaku tidak mudah baginya untuk menangani trauma korban Reynhard. "Perkosaan dan pelecehan seksual adalah kejahatan yang sangat tertutup. Sangat sulit memprosesnya dan bahkan menalarnya. Tapi bisa berbicara ke orang lain bagi korban, dan tahu kalau reaksi yang dia miliki itu wajar itu sangat bermanfaat bagi banyak orang," katanya lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement