REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum pemohon dari perkara uji formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), Feri Amsari meminta bantuan wartawan untuk mengumpulkan bukti persidangan paripurna saat pengesahan UU KPK tersebut. Ia menilai, syarat kuorum anggota DPR RI dalam persidangan tersebut tak terpenuhi.
"Oleh karena itu kami meminta bantuan teman-teman media karena sebagian besar teman-teman pasti merekam peristiwa itu dengan baik," ujar Feri kepada wartawan di gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (9/12).
Ia mengaku, pihaknya sudah berbicara dengan beberapa awak media untuk mendapatkan alat bukti yang valid terkait rapat paripurna DPR mengesahkan UU KPK Nomor 19/2019. Ia berharap, bukti-bukti itu bisa dilengkapi dalam persidangan perkara uji formil UU KPK berikutnya.
Kuasa hukum lainnya yakni Saor Siagian mengaku, tim advokasi telah melayangkan surat kepada DPR untuk meminta dokumen-dokumen dalam rapat paripurna. Sebab, ketika itu sidang paripurna pengesahan UU KPK terbuka.
Sehingga, menurut Saor, seharusnya tak ada alasan pihak DPR tak memberikan dokumen seperti daftar anggota dewan yang hadir. "Karena itu kewajiban mereka sebagai DPR. Dan kami minta betul supaya DPR, tidak berhak dia, untuk tidak memberikan permohonan kita terlebih soal absensi. Karena ini soal moral, benar enggak mereka hadir 200 sekian," kata dia.
Sebelumya, MK telah menggelar sidang pendahuluan uji formil terhadap UU KPK Nomor 19/2019 yang dimohonkan oleh tiga pimpinan KPK dan 10 pegiat antikorupsi. Hakim MK Sadli Isra mempertanyakan bukti terkait anggapan sidang paripurna tersebut tak memenuhi syarat kuorum.
"Dan yang paling penting adalah sebetulnya kalau tadi kuasa pemohon mengatakan ini dari pemantauan kami hadir sekian orang kira-kira bukti apa yang bisa disodorkan ke kami untuk menyatakan bahwa yang diklaim sekian orang itu bisa kami lihat kebenarannya," tutur Saldi saat memberikan nasihat hakim.
Kemudian, salah satu dari tim kuasa pemohon, Violla Reininda beralasan, penyajian bukti seperti daftar hadir anggota DPR yang hadir sidang paripurna pengesahan UU KPK sulit untuk diakses. Selain itu, dokumen lain seperti salinan putusan rapat pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPRpun sulit untuk diakses.
Ia mengaku, sudah beberapa kali mengajukan permohonan ke pusat informasi DPR agar dapat mengakses dokumen-dokumen tersebut. Akan tetapi, sampai persidangan pendahuluan ini berlangsung, tidak ada respons positif dari pusat informasi DPR.
"Jadi kami belum dapat untuk mengajukan bukti-bukti tersebut ke dalam persidangan. Dan ini pun sudah kami tegaskan juga dalam dalil permohonan kami bahwa proses pembentukan ini (UU KPK) tidak memenuhi akses keterbukaan dan juga proses penyebarluasannya pun cukup minim pada masyarakat," tutur Violla.
Revisi UU KPK