Rabu 04 Dec 2019 22:04 WIB

Komnas HAM: Masyarakat Ingin Kasus HAM Masa Lalu Dituntaskan

Komnas HAM mengatakan masyarakat ingin kasus HAM masa lalu dituntaskan.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Mohammad Choirul Anam
Foto: Republika TV/Muhamad Rifani Wibisono
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Mohammad Choirul Anam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, hasil riset yang dilakukan lembaganya menunjukkan sebanyak 80 persen responden berpendapat kasus pelanggaran HAM berat masa lalu perlu dituntaskan. Komnas HAM mengadakan riset di 34 provinsi dengan melibatkan 1.200 responden.

"Kalau ada yang mengatakan kubur masa lalu, songsong masa depan ini tidak sesuai dengan harapan masyarakat," tutur Komisioner Komnas HAM Choirul Anam di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (4/12).

Baca Juga

Dilihat dari kelompok generasi, 73,9 persen generasi Z atau di bawah 22 tahun menilai kasus pelanggaran masa lalu perlu dituntaskan, 18 persen menilai sangat perlu dituntaskan delapan persen menilai tidak perlu. Sementara kelompok milenial atau berusia 22-40 tahun lebih sedikit yang menilai perlu penuntasan kasus HAM masa lalu, yakni 70,8 persen perlu, 12,3 sangat perlu dan yang menilai tidak perlu 17 persen.

Untuk generasi X atau usia 41 ke atas, sebanyak 67,9 persen menilai perlu penuntasan kasus, 13,1 sangat perlu, 19 persen tidak perlu. Riset yang dilakukan di 34 provinsi di Indonesia itu melibatkan 1.200 responden dengan kisaran usia 17-65 tahun.

Kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang diriset adalah lima kasus yang dinilai paling menarik perhatian publik dari total sebanyak 12 kasus pelanggaran HAM masa lalu. Kasus-kasus tersebut adalah peristiwa 1965, penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Trisakti-Semanggi 1998, penculikan aktivis 1997-1998 dan kerusuhan Mei 1998.

Sementara Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi mengatakan pemerintah akan menyeleksi kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu mana saja yang akan diselesaikan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Langkah tersebut akan diambil setelah Rancangan Undang-undang (RUU) KKR dipastikan masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas).

"Setelah nanti UU KKR dibahas, kalau itu jadi, pemerintah, yang kali ini diwakili Menko (Polhukam), dan di situ ada Jaksa Agung, melakukan verifikasi mana mana saja sih yang tidak bisa dibawa ke yudisial," ujarnya, Rabu (4/12).

Mualimin menyampaikan, pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan masalah dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu. Menurut dia, kasus-kasus itu dibagi menjadi tiga kategori, yakni yang dapat diproses hukum, yang proses hukumnya sudah berjalan, dan yang tidak bisa diproses.

KKR, kata dia, diperlukan untuk menjawab kasus-kasus yang tidak dapat diproses melalui jalur hukum. "Kalau yang tidak bisa diproses ya harus cari jalan ya. Masa ya pengen terus-menerus dibiarkan begitu saja. Kalau dibiarkan begitu saja kan tidak ada kepastian," terangnya.

Untuk saat ini, pemerintah belum melakukan pengklasifikasian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu mana saja yang masuk ke setiap kategori tersebut. Pemerintah masih menunggu Rancangan UU KKR masuk ke dalam polegnas untuk dibahas di DPR.

"Belum, belum, makanya ini kan lagi mendalami dulu. Setelah kita mendalami ini, kemudian kan prosesnya harus melalui prolegnas," katanya.

Sebelumnya, Komisi Nasional HAM telah membicarakan soal (KKR) dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD. Komnas HAM memberikan masukan kepada Mahfud, keluarga para korban harus diajak bicara dan kemudian perlu ditemukan formula yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan HAM itu.

"Nanti harus dipilih formulanya seperti apa. Yang yudisial juga misalnya yang harus ke peradilan seperti apa, kasus yang mana, itu nanti akan bicarakan lebih jauh," Senin (25/11).

Di samping itu, Mahfud MD mengatakan, peta jalan terkait KKR sudah ada sejak lama. Ke depan, hanya perlu dibicarakan lebih lanjut akan seperti apa. Kini, ia masih menunggu Rancangan Undang-Undang KKR untuk masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.

"Pasti (mengajak bicara LSM dan keluarga korban). Namanyakan mencari penyelesaian masalah secara komprehensif pasti semua elemen terkait diundang. Semua akan kita dengar. Akan tetapi semua harus fair," ujarnya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement