Ahad 01 Dec 2019 13:34 WIB

Ketum Muhammadiyah Kritik Aturan Majelis Taklim

PMA Majelis Taklim dinilai terlalu jauh mengurusi ranah aktivitas keumatan.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Teguh Firmansyah
Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Dr H Haedar Nashir MSiĀ usai membuka Rakornas Majelis Pelayanan Sosial dan Amal Usaha Muhammadiyah 2019, di Semarang, Kamis (4/7).
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Dr H Haedar Nashir MSiĀ usai membuka Rakornas Majelis Pelayanan Sosial dan Amal Usaha Muhammadiyah 2019, di Semarang, Kamis (4/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, Peraturan Menteri Agama (PMA) No 29 tentang Majelis Taklim (MT) memang memiliki maksud baik. Namun langkap pemerintah itu dianggap terlalu mengatur urusan umat.

"PMA Majelis Taklim maksudnya baik, tapi terlalu jauh mengurusi ranah aktivitas keumatan di akar-rumput yang semestinya dihidupkan secara alamiah dan didorong secara positif sejalan dinamika masyarakat Indonesia yang hidup dalam kegotongroyongan dan paguyuban," ucap Haedar pada Ahad (1/12).

Baca Juga

Ia mengungkapkan, kegiatan keagamaan di ranah umat seperti majelis taklim lebih menghidupkan keislaman dan positif untuk menanamkan, memahamkan, dan mengamalkan Islam dengan baik dan benar.

Perihal perbedaan paham dan pandangan semenjak dahulu memang kerap terjadi. Yang paling penting adalah mengembangkan dialog agar masing-masing tidak ekstrem dalam beragama, dan tidak menimbulkan konflik keagamaan sesama umat beragama.

"Kalau serba diatur pemerintah nanti aktivitas sosial lainnya seperti gotong royong dan aktivitas sosial harus diatur juga, jangan ada diskriminasi," kata dia.

Sementara untuk mencegah radikalisme atau ekstrimisme, menurut Haedar cukup dengan ketentuan perundangan yang ada, sehingga pemerintah tidak terlalu jauh mengatur aktivitas umat beragama.

Selain itu pemerintah diminta tidak menggenarlisasi, dan menjadikan umat Islam sebagai sasaran deradikalisasi secara sepihak, diskriminasi, dan cenderung represif seolah-olah umat mayoritas ini menjadi sumber radikalisme, serta ekstremisme sehingga kegiatannya sampai detail harus diatur.

Masa lalu

Haedar mengungkapkan, Indonesia setelah reformasi sudah masuk era demokrasi, untuk itu diminta tidak lagi dibawa ke masa lalu yang serba diatur berlebihan. Terlebih lagi dengan pengaturan yang diskriminatif.

Sementara pada era kebebasan ini, semua pihak juga diminta untuk tidak menyalahgunakan demokrasi dalam segala aktivitas yang bertentangan dengan hukum, agama, moral, dan ketertiban sosial.

Ia berharap PMA Majelis Taklim tidak menjadi alat mengatur dan melarang majelis-majelis taklim yang tidak sepaham dengan aparat atau pejabat Kementerian Agama dalam hal ini KUA setempat.

Sebelumnya Menteri Agama, Fachrul Razi menyatakan, regulasi tersebut akan memudahkan Kemenag dalam mengucurkan bantuan dana kepada majelis taklim. Sebab, menurutnya jika tidak ada regulasi yang mengatur maka tidak bisa memberikan bantuan kepada majelis taklim. Selama ini, menurutnya, belum ada payung hukum yang mengatur tentang majelis taklim di Indonesia.

"Peraturan majelis taklim dibuat supaya kita mudah ngasih bantuan ke mereka. Kalau nggak ada dasar hukumnya kita tidak bisa ngasih bantuan," kata Fachrul.

Fachrul membantah pemerintah menerbitkan PMA tentang majelis taklim untuk membatasi ruang majelis ilmu agama. Menurut Fachrul, majelis taklim adalah kegiatan positif yang membuat umat Islam, terutama kaum ibu menambah ilmu pengetahuan keagamaan. Fachrul mengatakan PMA ini sangat positif agar majelis taklim dapat tertata dengan baik.

Dia juga membantah penerbitan PMA tentang majelis taklim dikaitkan dengan pencegahan masuknya paham atau aliran radikal di forum-forum keagamaan. "PMA ini tidak untuk mencegah masuknya radikalisme. Majelis taklim itu setau saya positif-positif saja kok," ucap Fachrul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement