Jumat 29 Nov 2019 15:08 WIB

Masalah BPJS Kesehatan Menurut Presiden Jokowi

Menurut Jokowi, pemerintah sudah mengeluarkan anggaran besar untuk BPJS Kesehatan.

Warga berjalan di lobi kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jakarta Timur, di Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Warga berjalan di lobi kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jakarta Timur, di Jakarta, Rabu (30/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Sapto Andika Candra

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut masalah yang muncul dalam kasus BPJS Kesehatan terletak pada institusi BPJS itu sendiri dan bukan pada rumah sakit maupun masyarakat pemegang kartu. Hal itu diutarakan oleh Jokowi saat inspeksi mendadak layanan BPJS Kesehatan di Subang, Jawa Barat, Jumat (29/11).

Baca Juga

“Kalau BPJS yang memang harus diselesaikan kan di BPJS-nya bukan di rumah sakitnya, bukan di pemegang BPJS-nya. Di institusi BPJS-nya bagaimana agar defisit bisa dikendalikan,” kata Presiden.

Menurut Presiden, BPJS harus mampu mengendalikan defisit, terutama mengingat pemerintah sudah mengeluarkan anggaran yang besar. Presiden Jokowi mengatakan, bahwa dalam sidak layanan BPJS di instalasi perawatan kelas 3, yakni Ruang Asoka RSUD Subang hampir 90 persen pasien yang ditemui menggunakan Kartu Indonesia Sehat.

Dari jumlah tersebut, kata Kepala Negara, sekitar 70 persen merupakan masyarakat penerima bantuan iuran (PBI). Sisanya sekitar 20 persen,merupakan peserta mandiri.

"Sama seperti yang di Lampung, kurang lebih angkanya hampir-hampir sama. Artinya apa? Artinya memang masyarakat memanfaatkan kartu BPJS itu dalam rangka pelayanan kesehatan yang diberikan di rumah sakit," kata Presiden.

Presiden menjelaskan sampai saat ini ada sebanyak 133 juta orang dicakup oleh asuransi BPJS secara gratis. Jokowi pun pernah menyebut, pemerintah sudah mengeluarkan Rp 115 triliun untuk BPJS Kesehatan.

"Ada 133 juta orang yang di-cover oleh pemerintah dari kartu BPJS yang gratis, 96 juta orang oleh pemerintah pusat dan sisanya itu pemerintah daerah. Gede banget (besar sekali) ini. Jadi kenaikan BPJS itu yang 133 juta itu artinya di-cover oleh APBN dan APBD. Itu yang harus menjadi catatan," katanya menambahkan.

Permintaan jokowi terkait perbaikan manajemen BPJS Kesehatan bukan yang pertama kali ini. Sebelumnya, saat kunjungan kerja di Bandar Lampung, Jokowi juga sempat menyinggung bahwa defisit BPJS Kesehatan yang semakin membengkak disebabkan oleh salah pengelolaan. Menurut dia, perlu ada perbaikan tata kelola di internal BPJS Kesehatan yang perlu dilakukan. Catatan BPJS Kesehatan, angka defisit berpotensi menyentuh angka Rp 32 triliun hingga akhir 2019.

"Sekali lagi kita kan sudah membayari yang 96 juta (jiwa). Total dibayar oleh APBN tapi di BPJS terjadi defisit itu karena salah kelola aja. Yang harusnya bayar pada nggak bayar. Artinya, penagihan harus diintensifkan," kata Jokowi seusai meninjau pelayanan BPJS Kesehatan di RSUD Dr Abdul Moeloek, Lampung, Jumat (15/11).

[Video] 'Penyelesaian Masalah BPJS Bukan dengan Menaikkan Iuran'

Evaluasi diagnosis RS

Selain perbaikan tata kelola manajemen BPJS Kesehatan, pemerintah berencana memperketat pengawasan pemberian layanan fasilitas oleh bpjs kesehatan kepada pasien. Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pernah menyebutkan, selama ini banyak ditemukan pemberian tindakan medis secara berlebihan kepada pasien yang menyebabkan bengkaknya tagihan rumah sakit kepada pihak BPJS Kesehatan.

Terawan memberi contoh, tagihan rumah sakit untuk tindakan medis jantung saja mencapai Rp 10,5 triliun dalam satu tahun. Hal ini disebabkan adanya tindakan medis yang sebetulnya tidak mendesak namun tetap diberikan kepada pasien.

Misalnya, pemasangan stent jantung yang tetap dilakukan oleh pihak rumah sakit meski sebetulnya pasien belum secara darurat medis memerlukan tindakan tersebut. "(Pelayanan) yang berlebihan akan kita lakukan evaluasi," Terawan usai menghadiri rapat terbatas bersama Presiden Jokowi, Kamis (21/11).

"Yang kurang akan kita perbaiki. Banyak pelayanan berlebihan, tidak sesuai dengan literatur yang ada, ya kita akan degradasi. Semuanya harus sesuai dengan standar dalam UU," kata dia, menambahkan.

Terawan juga menyebutkan, berdasarkan sejumlah jurnal kesehatan, pemberian obat pun bisa jadi lebih efisien dibanding tindakan medis berupa operasi atau pemasangan stent. Perampingan pemberian diagnosis ini, ujar Terawan, bisa memangkas 50 persen tagihan rumah sakit kepada BPJS Kesehatan.

"Sehingga kalau yang pasang stent ya sesuai dengan diagnosanya. Kalau mau operasi ya operasi sesuai diagnosanya, itu bisa menurunkan sampai 50 persen atau Rp 5 triliun dihemat," kata Terawan.

Tak hanya diagnosis jantung, Terawan juga menyoroti pemberian tindakan medis berupa bedah cesar kepada perempuan melahirkan. Tagihan rumah sakit untuk tindakan cesar bisa mencapai Rp 5 triliun dalam setahun. 

Di Indonesia, ujar Terawan, praktik cesar pada perempuan melahirkan terjadi pada 45 persen dari total persalinan. Angka ini jauh lebih ketimbang standar dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dengan porsi cesar hanya 20 persen dari total persalinan.

"Yang berlebihan dievaluasi. Bukan pelayanan diturunkan. Lho kamu kalau belum waktunya di-stent lalu di-stent yo ndak mau kan?" ujar Terawan.

photo
Tekornya BPJS Kesehatan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement