Jumat 22 Nov 2019 15:04 WIB

Polemik Usulan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden

PSI mengusulkan masa jabatan presiden menjadi 7 tahun hanya untuk satu periode.

Presiden Joko Widodo mengucapkan sumpah saat dilantik menjadi presiden periode 2019-2024 di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Ahad (20/10/2019).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Presiden Joko Widodo mengucapkan sumpah saat dilantik menjadi presiden periode 2019-2024 di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Ahad (20/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Ali Mansur

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sepertinya tengah memanfaatkan momentum wacana amandemen terhadap UUD 1945 yang tengah bergulir. Partai yang gagal melampaui ambang batas parlemen pada Pemilu 2019 lalu itu mengusulkan agar masa jabatan presiden yang tadinya empat tahun dan dua periode, menjadi tujuh tahun dan hanya satu periode.

Baca Juga

Menurut Ketua DPP PSI Tsama Amany, dengan masa jabatan yang hanya satu periode membuat presiden terlepas dari tekanan politik jangka pendek. Presiden juga diharapkan lebih fokus untuk melahirkan kebijakan terbaik, serta terbebas dari pragmatisme.

“Jika hanya satu periode, setiap presiden akan bekerja semaksimal mungkin, fokus bekerja buat rakyat dan tak memikirkan pemilu berikutnya,” kata Tsamara dalam keterangan tertulisnya, Kamis (21/11).

Lalu, imbuh Tsamara, masa kepemimpinan perlu diperpanjang sampai tujuh tahun agar tiap presiden punya waktu cukup untuk mewujudkan program-program kerjanya. Dengan demikian ia menilai tak ada lagi kecurigaan bahwa petahana memanfaatkan kedudukannya.

“Selanjutnya, satu periode ini akan menghilangkan konsep petahana dalam pemilihan presiden,” ujarnya.

Tsamara mengungkapkan, dalam pengamatan PSI, pada masa jabatan presiden yang berlaku saat ini, waktu yang efektif hanya tujuh atau delapan tahun. Sementara dua atau tiga tahun dipakai untuk persiapan kampanye berikutnya. Selain itu, ia juga menganggap pemilu tiap tujuh tahun juga akan menghemat biaya.

Hal yang berbeda disampaikan Ketua Fraksi Partai Gerindra MPR RI Ahmad Riza Patria. Riza mengatakan masa jabatan presiden dua periode tidak perlu diubah. Sebab, masa jabatan itu sudah sesuai dengan semangat reformasi, yaitu kekuasaan dan kewenangan harus dibatasi.

"Kalau masa jabatan (Presiden) sudah final, dua periode. Indonesia adalah negara yang besar dengan suku, bangsa, etnis, agama, dan penduduk yang banyak sehingga masa jabatan presiden jangan lama-lama," kata Riza Patria di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (21/11).

Di samping itu, Riza juga menegaskan hingga saat ini tidak ada fraksi yang secara resmi mewacanakan masa jabatan menjadi tiga periode apalagi sampai seumur hidup. Namun, Riza tidak memungkiri jika ada wacana seperti itu tapi dari individu bukan fraksi. Di MPR RI sendiri belum ada wacana yang mengemukaka terkait penambahan masa jabatan presiden.

"Kalau individu itu sudah hal biasa. Kita selalu membandingkan teman-teman dari partai lain mungkin melihat, kan sering kita diskusi dengan negara lain. Sebagai diskursus sah-sah saja," ungkap Riza.

Riza melanjutkan, setiap negara memiliki masa jabatan yang berbeda-beda, tergantung dari kultur rakyatnya masing-masing. Saat ini yang paling ideal bagi Indonesia adalah dua periode saja dan satu periode cukup lima tahun. Sementara di negara lain cukup beragam ada yang hanya satu peridoe tapi delapan tahun. Kemudian ada dua periode dengan masa jabatan lima tahun tapi harus jeda.

"Ini juga gagasan yang luar biasa. Misalnya 2019-2024 dia terpilih, maka 2024 sampai 2029 dia tidak boleh maju, dia boleh maju ketika di periode kedua di 2029-2034, jadi tidak berturut-turut," ucapnya.

photo
Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara Amany mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (16/10).

Respons MPR

Wakil Ketua MPR Syarief Hasan menilai memperpanjang masa jabatan MPR tak ada urgensinya. Lagipula menurutnya, sampai saat ini belum ada pembatasan sampai sejauh itu.

"Belum ada sampai sekarang. Sekali lagi ini kan penyempurnaan yang terbatas, jadi tidak sampai kepada perpanjangan masa jabatan presiden," ujar Syarief kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (22/11).

Ia menyebut isu memperpanjang masa jabatan presiden hanya selentingan. Ia memastikan terkait hal itu tidak ada dalam agenda. Menurutnya, dua periode yang masing-masing lima tahun dianggap sudah cukup.

Wakil Ketua MPR Zulkifli Hasan juga merespons adanya wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode dalam amendemen UUD 1945. Zul menegaskan sejak di masa kepemimpinannya amendemen hanya merekomendasikan amendemen terbatas.

"Masa saya sudah ada rekomendasi lebih fokus yaitu amandemen terbatas, jadi perjalanannya panjang," kata Zulkifli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (22/12).

Ia mengakui pada saat itu juga berbagai usulan ia terima. Usulan tersebut di antaranya ada yang ingin kembali pada UUD yang lama, ada yang mempertahankan, lalu ada juga yang ingin agar UUD 1945 dirombak total.

"Nah disepakatilah, ketemunya itu apa yang kita dengar dan apa yang sudah disampaikan secara resmi yaitu amandemen terbatas mengenai pentingnya haluan negara," ujarnya.

Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu mempersilakan jika ada wacana baru terkait amandemen. Namun, menurutnya jika ada usulan baru maka harus dimulai lagi dari awal.

"Ya kan berarti dari awal lagi, ada usulan lagi. Bisa saja," tuturnya.

Ia menegaskan bahwa sikap PAN tetap pada rekomendasi yang telah disepakati yaitu amandemen terbatas. Namun ia tidak menjelaskan pada poin apa saja terbatas yang dimaksud.

Wakil ketua MPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Ahmad Basarah menegaskan hingga saat ini tidak urgensi untuk mengubah ketentuan masa jabatan presiden dalam UUD 1945. Justru yang diinginkan dan dianggap penting oleh partainya adalah menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

"Tidak ada urgensinya untuk mengubah konstitusi kita yang menyangkut tentang masa jabatan presiden. Mengubah satu pasal ribet sekali. Yang kita harapkan itu menghadirkan kembali GBHN," tegas Basarah di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (21/11).

Menurut Basarah, dengan dihidupkannya kembali GBHN melalui amandemen terbatas maka rencana pembangunan nasional berkesinambungan. Sehingga, meski ganti-ganti presiden dan rezim rencana pembangunan tetap sesuai arah dan juga ada sinergitas antara daerah dan pusat. Jadi setiap calon presiden tidak perlu memikirkan ganti visi, misi dan program.

"Itu arena sudah ada road map-nya. Sehingga kita semua, bangsa indonesia tidak perlu lagi khawatir siapapun presidennya karena pembangunan nasional," terangnya.

Selain itu Basarah juga menepis jika GBHN kembali hadir, presiden kembali dipilih oleh MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara. Menurutnya, pemilihan presiden secara langsung dan menghidupkan kembali GBHN adalah dua hal yang berbeda. Pemilihan presiden merupakan prinsip demokrasi. Sedangkan, penghidupan kembali GBHN bertujuan untuk menentukan arah pembangunan nasional.

"Ini dua hal beda. Pilpres langsung itu pengejawantahan demokrasi. Sementara haluan negara adalah konsepsi bagaimana Indonesia menuju masa depannya," terang Basarah.

photo
Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputtri (tengah) didampingi Ketua MPR Bambang Soesatyo (kedua kiri), Wakil MPR Jazilul Fawaid (kiri), Zulkifli Hasan (kedua kanan) dan Ahmad Basarah (kanan) bersiap memberikan keterangan pers di kediaman Megawati, di Jakarta, Kamis (10/10/2019).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement