REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pelaksanaan Pemilu dan Pilkada di Indonesia sejak awal reformasi seringkali meninggalkan problematika hukum yang tidak selesai hingga akhir tahap penyelenggaraan pemilu. Persoalan hukum dari setiap pemilu ke pemilu dan pilkada ke pilkada itu dituangkan dalam buku 'Keadilan Pemilu, Potret Penegakan Hukum Pemilu dan Pilkada'.
Mantan aktivis Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Irvan Mawardi mengatakan perubahan sistem pemilu dari sistem perwakilan menjadi pemilihan langsung dan berbasis suara terbanyak, berdampak pada pola penegakan hukum pemilu yang semakin dinamis. Ketika sistem pemilu tertutup, objek penegakan hukum pemilu menjadi statis.
Hampir 15 tahun terakhir ini bangsa Indonesia melaksanakan dan mengikuti praktek proses proseduralisme demokrasi melalui pemilihan langsung secara terbuka bahkan konon cenderung liberal. Maka menarik memotret dan mengkaji penegakan hukum pemilu ketika berhadapan dengan sistem pemilu yang terbuka tersebut.
"Apakah penegakan hukum pemilu juga terjebak pada proseduralisme hukum atau justru telah berhasil membumikan visi dan nilai-nilai Keadilan Pemilu?," kata Irvan yang juga penulis buku 'Keadilan Pemilu, Potret Penegakan Hukum Pemilu dan Pilkada', saat Peluncuran Buku di Hotel Acacia, Kamis (7/11).
Buku Keadilan Pemilu, Potret Penegakan Hukum Pemilu dan Pilkada ditulis oleh Irvan Mawardi dan Ketua Bawaslu DKI Jakarta Muhammad Jufri.
Irvan mengungkapkan, buku ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan mengusung visi Keadilan Pemilu. Yakni mengulas beberapa legal issu yang terkait dengan gugatan pemilu (electoral challenge) baik yang penyangkut ketentuan administrativ maupun pidana Pemilu.
Penulis Buku Keadilan Pemilu, Potret Penegakan Hukum Pemilu dan Pilkada Irvan Mawardi.
Termasuk, ungkap Irvan, dalam mekanisme penyelesaian sengketa Pemilu alternative (Alternative Electoral Disputes Resolution, AEDR). Ia menyebut perlu evaluasi dan refleksi atas kiprah Bawaslu. Sebab selama ini beberapa dekade pilkada dan pemilu menjalankan peran sebagai banding administrasi sebelum penyelesaian di pengadilan.
"Penegakan hukum dalam Pemilu itu bermuara pada terbukanya akses masyarakat (pemilih) di semua lapisan untuk menyelesaikan persoalan hukum pemilu secara mudah dan sederhana," ujar Irvan yang kini juga hakim PTUN.
Menurut Irvan, beberapa isu menarik yang dibahas dalam buku ini antara lain terkait dengan Pelanggaran Terstruktur Sistematis Massif (TSM), Diskualifikasi terhadap Petahana dalam Pilkada, Evaluasi Gakumdu, pelanggaran money politik, penyelesaian hukum soal Caleg bekas Napi Tipikor, dan evaluasi dan penguatan Bawalu dan lain-lain
Ketua Majelis Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP) Republik Indonesia, Muhammad mengapresiasi diluncurkannya buku yang mengulas persoalan hukum dalam proses pemilu dan pilkada ini. Sebagai mantan penggiat kepemiluan dan ahli hukum, Muhammad menilai penulis sangat berani membedah secara terang terangan persoalan penyelenggaraan pemilu.
"Buku ini bisa menjadi pegangan bagi para penyelenggara pemilu baik KPU ataupun Bawaslu, untuk menjalankan penyelenggaraan pemilu beserta bagaimana penyelesaiannya," katanya.
Namun ia menyayangkan minat baca penyelenggara pemilu masih rendah. Secara garis besar, menurut dia, kuncinya bila penyelenggaraan pemilu ada persoalan hukum, harus cepat respon dalam penegakkan hukumnya. Karena sejatinya bicara keadilan pemilu, pihak penyelenggara harus bisa menanggapi persoalan pemilu yang lebih cepat.
Kemudian kunci yang lain selain cepat, yakni penegakkan hukum harus benar benar adil. Ukurannya adalah ketika sebagian besar masyarakat bisa merasakan kehadiran hukum tersebut, yakni sesuai kaidah hukum dan proporsional. "Intinya jangan sampai ada kekosongan hukum," terangnya.
Ia juga mengusulkan di buku ini perlu juga memasukkan soal soal etika penyelenggara pemilu. Hal ini diperlukan agar kehadiran DKPP tidak diperlukan lagi. Karena itu marwah penyelenggara pemilu tetap terjaga tanpa harus dipanggil oleh DKPP.
Anggota Bawaslu RI Fritz Edward Siregar menambahkan buku ini bisa menjadi pegangan. Tapi buku ini harus didetailkan untuk kasus per kasus penyelenggaran pemilu. Apakah fokusnya pada penyelenggaraan pidana pemilu atau soal pelanggaran administrasi atau etik, ini harus diperdalam.
"Tidak banyak buku yang membahas soal pengamanan pemilu dan keadilan peneegakkan hukum dalam penyelenggaraan pemilu. Buku ini ikut memperkaya khazanah penyelenggaraan kepemiluan," imbuh Fritz.
Penggiat Demokrasi dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni menilai buku ini cukup istimewa. Karena buku ini ia anggap banyak menggali persoalan setiap penyelenggaraan pemilu di indonesia dari masa ke masa.
"Ini menjadi sebuah catatan yang selalu mengingatkan pihak penyelenggara pemilu atas kasus per kasus dari penyelenggaraan pemilu. Tapi persoalannya problematika hukum penegakkan pemilu juga ada di masalah hukumnya yang sering bermasalah," ujar Titi.
Para pembedah Buku Keadilan Pemilu, Potret Penegakan Hukum Pemilu dan Pilkada.
Titi melihat buku ini berusaha memotret bagaimana implementasi penegakkan hukum pemilu. Banyak studi kasus yang dibahas tetapi kurang dijelaskan kerangka hukum, dimana penegakkan hukum pemilu seringkali tidak sinkron, sering tumpang tindih dan tidak konsisten.
"Hukum yang berserakan di berbagai instansi ini juga harus didorong, untuk diselesaikan bersama," terangnya.