Senin 04 Nov 2019 06:45 WIB

Pemekaran Papua Bukan Solusi Persoalan Papua?

Pemekaran Papua Bukan Solusi Persoalan Papua?

Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (kanan) meninjau bangunan yang rusak akibat kerusuhan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Senin (28/10/2019).
Foto:
Presiden Joko Widodo (tengah) mengunjungi lapangan bola Irai di Kabupaten Pegunungan Arfak, Provinsi Papua Barat, Ahad, (27/10/2019).

Sebagai lembaga resmi negara, MRP punya kewenangan mutlak dalam setiap pengambilan keputusan terkait yang akan direncanakan di atas Tanah Papua. “Kalau ada Tim 61 yang datang ke Presiden (meminta pemekaran) silakan saja. Kami (MRP) diam. Tetapi ya mohon maaf, kondisi Papua ini semua harus dijaga toh. Apakah kami (MRP) ini dihormati atau tidak,” ujar dia saat dihubungi Republika. Ia pun menepis anggapan tentang MRP yang menolak rencana pemekaran yang sebelumnya disampaikan Timotius Murib. Sebab Dorince mengungkapkan, MRP sampai Ahad (4/11) tak dalam posisi mendukung atau melawan wacana pemekaran dari pemerintah pusat.

“Sah-sah saja (pemekaran) kalau memang itu sudah ada aspirasi dari masyarakat (Papua). Dari bawah. Dari akar rumput masyarakat yang paling bawah di Papua,” kata Dorince. Namun ia melihat usulan pemekaran saat ini, datang dari kelompok yang sebenarnya bukan untuk menyampaikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Melainkan kata dia, muncul dari usaha tagih janji atas jasa politik selama kampanye mempertahankan kekuasaan. Namun apapun alasannya, kata Dorince, MRP wajib disertakan dalam setiap usulan, pembahasan, dan pengambilan keputusan pemekaran Papua. “Apakah mereka tahu, ada namanya MRP?,” tegas dia.

Pengajar Ilmu Pemerintahan di Univesitas Cenderawasih (Uncen) di Jayapura, Diego Romario de Fretes melihat adanya kecacatan etik para elite daerah dalam wacana pemekaran Papua. Ia mengatakan jika merunut rentetan usulan pemekaran, wacana tersebut sarat dengan aksi bayar lunas oleh kekuasaan pusat, atas jasa para politikus daerah dalam Pilpres 2019. Diego menyimpulkan begitu, setelah merunut pertemuan Kelompok 61 di Istana Merdeka, sampai Presiden Jokowi mengunjungi Wamena pada 28 Oktober lalu.

Menurut Diego, sebetulnya misi Tim 61 menyambangi bertemu Presiden Jokowi punya tujuan mulia. Ia menilai positif karena misi Kelompok 61 waktu itu, mulanya untuk menuntut keadilan atas insiden rasialisme dan kekerasan yang membuat Papua dan Papua Barat mengalami instabilitas. Namun misi tersebut menjadi bengkok setelah Tokoh-tokoh 61, menuntut pemekaran. “Jadi berangkatnya untuk membahas soal jaminan keadilan untuk orang Papua. Tetapi, pulangnya mereka membawa hasil soal pemekaran. Ini sangat tidak sesuai dengan cita-cita awalnya,” ujar Diego.

Itu mengapa, ia mengatakan, agar pemerintah membatalkan saja rencana pemekaran baru tersebut. Karena selain masih adanya moratorium wilayah pemekaran baru, pun wacana pembelahan wilayah tersebut sudah diserapi dengan niat bagi-bagi janji politik kepada elite lokal di daerah. “Menjadi tidak penting pemekaran ini. Karena yang berangkat ke Jakarta kemarin itulah, yang kemungkinan besar akan menjadi penguasa baru di provinsi yang baru itu nantinya. Artinya pemekaran itu tidak ada manfaatnya sama sekali bagi masyarakat asli Papua,” kata Diego.   

Yang paling dikhawatirkan, pun kata Diego akan muncul jika pemekaran tetap dipaksakan. Yaitu, munculnya konflik-konflik komunal di daerah-daerah di Papua, yang tak mendapatkan hak politik serupa, pun yang terpisah karena tadinya berasal dari wilayah yang sama. Pembentukan provinsi baru di Papua, pun berisiko tinggi dengan memperuncing traumatik orang asli Papua terhadap militer dan kepolisian. Sebab kata dia, dengan pembentukan provinsi baru, otomatis membuat otoritas keamanan, akan mendirikan pos-pos militer tambahan di wilayah-wilayah baru tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement