REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana beranggapan, pihaknya telah memprediksi bahwa Presiden Jokowi tidak akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) KPK. Sebab, sejak jauh hari, indikasi dari Presiden dan DPR untuk melemahkan KPK sudah terkonfirmasi.
"Presiden rasanya juga tidak mengakomodasi suara publik, yang selama ini sudah cukup sering menyuarakan bahwa opsi paling tepat adalah melalui Perppu,” kata dia ketika dikonfirmasi Republika, Jumat (1/11).
Dia menegaskan, berbagai demonstrasi yang terjadi di banyak kota terkait hal tersebut, telah memakan korban. Oleh sebab itu, Presiden Jokowi seharusnya menjadikan dasar itu sebagai indikator untuk menyelamatkan KPK.
Dengan tidak adanya Perppu, merupakan pertanda buruk bagi nasib KPK untuk lima tahun ke depan. Presiden akan menjaring pengawas KPK yang notabene ditolak oleh ICW.
“Kita sedari awal juga memang sudah menolak konsep dewan pengawas, karena kalau mengacu pada UU KPK yang baru, kewenangan dewan pengawas terlalu berlebihan,” kata dia.
Ia mengatakan dalam konsep kelembagaan anti korupsi, yang dibutuhkan hari ini bukan kebutuhan kelembagaan dewan pengawas. Ia juga menegaskan konsep antikorupsi di manapun adalah membangun sistem pengawasan internal. Kurnia mencontohkan, pengawasan di internal KPK juga sudah berjalan dengan baik, contohnya ketika Saut Sitomorang dan Abraham Samad selaku pimpinan KPK saat itu bisa dikenakan sanksi.
Selain itu, hampir tidak ada terdakwa yang bebas ketika dibawa ke pengadilan oleh KPK. Ini artinya, kinerja KPK sudah berjalan baik.
“Untuk itu, kita berniat untuk ajukan judicial review UU KPK,” kata dia.