Rabu 25 Sep 2019 19:57 WIB

Pakar: Penolakan Publik karena Ketidaktahuan Isi RKUHP

Prof Tuti menganggap publik hanya memahami sepotong-sepotong melalu media sosial.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Harkristuti Harkrisnowo
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Harkristuti Harkrisnowo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana dan HAM Harkristuti Harkrisnowo menilai penolakan yang disuarakan oleh publik terkait beberapa pasal di RKUHP lantaran ketidaktahuan terhadap isi dari RKUHP tersebut. Ia menganggap publik hanya memahami sepotong-sepotong melalu media sosial yang tersebar.

Padahal, ia mengatakan, sosialisasi RKUHP sudah dilakukan sejak 2000 dengan mengunjungi lembaga-lembaga pendidikan dan bertemu dengan dosen. Ia mencontohkan, salah satu pasal yang disalapahami, yaitu pasal yang mengatakan bahwa seorang perempuan pekerja yang pulang malam akan dipidanakan.

Baca Juga

Menurutnya hal tersebut tidak ada. Pengaturan hanya sebagaimana dijelaskan pasal 431, yaitu berbunyi "setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang menganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana paling banyak kategori I".

"Jadi nggak ada itu (perempuan pulang malam ditangkap) ngarang-ngarang sendiri, berimajinasi," kata  perempuan yang disapa Prof Tuti kepada Republika, Rabu (25/9).

Begitu juga pasal yang menyebut bahwa korban aborsi akan dipidana. "Kalau itu dikatakan korban perkosaaan, (maka) tidak dihukum. Itu ada di undang-undang kesehatan yang berlaku sebagai lex spesialis dari pada KUHP," ujarnya.

Selain itu, ia juga berpandangan sebenarnya ada aturan yang di KUHP ini sudah ada, tetapi justru dipersoalkan di RKUHP saat ini. Misalnya, pasal 284 di KUHP tentang perzinaan.

"Hanya bedanya di KUHP itu salah satu pihak harus sudah menikah, dan kalau mau melakukan pengaduan harus disertai dengan gugatan perceraian. Jadi hanya khusus buat yang sudah menikah," kata Prof Tuti yang merupakan salah satu pakar yang hukum yang menyusun RUU KUHP.

Terkait pasal penghinaan presiden, ia mengaku heran lantaran pasal tersebut dipersoalkan. Sebab, presiden juga manusia yang berhak menjaga kehormatan dan nama baik.

Ia juga menjelaskan hal yang diatur di dalam pasal penghinaan presiden, yaitu berkaitan dengan penghinaan, bukan kritik. Artinya, masyarakat tetap diperbolehkan mengkritik, namun tidak diperbolehkan menghina.

"Ada contoh yang bilang 'Oh kerjanya nggak becus' itu kritik, tapi kalau menghina 'kamu itu..' kebun binatang dikeluarin, itu kan nggak ada hubungannya, tapi kalau kinerjanya jelek segala macem, itu kan kritik, bukan menghina," jelasnya.

Ia mempersilakan kepada publik untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Tokh, katanya, jika RUU tersebut disahkan kemarin, maka masih ada waktu dua tahun untuk mengajukan judicial review sebelum akhirnya benar-benar berlaku. 

Pada kesempatan itu, ia juga menjelaskan, pembicaraan mengenai RUU KUHP bukanlah hal baru. Pembahasan tentang RKUHP telah ada sejak tahun 1963.

"Perlunya ada perubahan terhadap perubahan undang-undang pidana kita karena kan warisan Belanda, bagaimana kita punya KUHP nasional, bagaimana  melakukan konsep modernisasi, demokratisasi, dekolonisasi, humanisasi," kata dia.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement