REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, mengatakan, pihaknya tidak setuju dengan kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam poin usulan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tengang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pihaknya menilai, hal itu akan menurunkan level kehati-hatian KPK dalam menangani perkara.
"Karena Pukat sejak awal tolak revisi UU KPK, maka kami juga menolak diberikannya SP3 kepada KPK. Sebab itu akan menurunkan level kehati-hatian KPK dalam penanganan perkara," ujar Zaenur ketika dikonfirmasi Republika, Senin (16/9).
Menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal kewenangan SP3 untuk kepastian hukum, Zaenur menyatakan tidak sepakat. Selama ini, kata dia, aparat penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan yang punya kewenangan menerbitkan SP3 pun belum tentu menggunakan kewenangan mereka.
"Bisa saja seorang tersangka itu menyandang status tersangka bertahun-tahun. Nah kenapa tidak juga menjamin kepastian hukum? (dalam konteks kasus yang ditangani kepolisian). Diberikannya SP3 pun tidak menjamin kepastian hukum seperti di kepolisian dan kejaksaan," paparnya.
Selanjutnya, jika KPK dibatasi untuk menyelesaikan perkara hanya dalam waktu dua tahun, menurutnya akan berbahaya. "Tetapi jika KPK dibatasi untuk menyelesaikan perkara dalam waktu dua tahun itu akan membahayakan kerja penindakan KPK. Sebab ada kasus-kasus tertentu harus dibagun selama bertahun-tahun, contohnya apa? Kasus RJ Lino yang paling banyak dikeluhkan orang kan. Kami sepakat jika kasus ini dipercepat," tuturnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyetujui poin usulan penerbitan SP3 dalam rancangan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang dinisiasi oleh DPR. Menurutnya, SP3 oleh KPK diperlukan demi menjamin prinsip-prinsip perlindungan HAM dan memberikan kepastian hukum.
Namun, sedikit berbeda dengan poin usulan dalam revisi UU KPK bahwa SP3 diberikan setelah kasus berjalan satu tahun, Jokowi meminta periode penyidikannya ditambah menjadi dua tahun. Artinya, SP3 baru bisa diterbitkan apabila penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi tidak selesai dalam jangka waktu dua tahun.
"Supaya memberikan waktu yang memadai bagi KPK," kata Jokowi di Istana Negara, Jumat (13/9).