REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Irjen Firli yang menjadi sorotan dari pegiat antikorupsi masuk dalam daftar 10 capim KPK pilihan Pansel. Nama Firli pun sudah masuk ke meja Presiden Jokowi.
Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo menegaskan pelanggaran kode etik yang dilakukan Irjen Firli Bahuri saat menjabat Deputi Bidang Penindakan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak pernah terbukti.
“Track record (rekam jejak dari pelanggaran etik) yang dulu-dulu itu, tidak terbukti. Jangan begitulah (menuduh-nuduh),” kata dia di Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (2/9).
Firli, menjadi satu-satunya perwira tinggi Polri yang namanya berhasil masuk ke kantong Presiden. Sebelumnya Koalisi Masyrakat Sipil Pengawal Seleksi Capim KPK menuding Firli punya catatan merah berupa pelanggaran kode etik profesi saat menjabat sebagai Deputi Penindakan di KPK pada 2018.
Firli, dikatakan pernah melakukan pertemuan dengan mantan Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi, pada Mei 2018. Padahal saat itu, KPK sedang melakukan penyidikan dugaan korupsi yang menjadikan Zainul Majdi sebagai saksi.
Pertemuan tersebut, sempat berujung masalah di internal KPK yang mendesak Firli untuk diperiksa di dewan etik. Akan tetapi, sebelum pemeriksaan dilakukan, Mabes Polri menarik Firli dari KPK untuk dipromosikan menjadi Kapolda Sumatera Selatan (Sumsel).
Dedi melanjutkan, adanya nama Firli dalam daftar 10 nama capim KPK yang kini berada di kantong Presiden, bukan hasil dari desakan atau intervensi Polri kepada Pansel. “Sudahlah, 10 nama itu, hak preogratifnya Pansel berdasarkan hasil tes selama ini. Kalau hasil tesnya bagus, ya bagus saja. Tidak ada yang menghalang-halangi,” sambung Dedi.
Pun selanjutnya, kata Dedi, 10 nama tersebut, pun masih membutuhkan proses lanjutan oleh Presiden Jokowi, sebelum diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Menurut Dedi, mekanisme dan proses yang ketat dalam penentuan capim KPK, membuktikan tak ada intervensi apapun dari institusi Polri. Meskipun, kepolisian sejak awal, merekomendasikan sebanyak sembilan nama perwiranya untuk mengikuti proses seleksi capim KPK.
Akan tetapi, kata dia, Polri tak pernah sekalipun memaksa Pansel, untuk meloloskan atau tak meloloskan nama-nama yang selama ini menjalani penyaringan ketat di Pansel.
“Pansel itu kan sudah disumpah. Hasil tesnya, transparan, dan akuntabel. Apalagi yang diragukan. Nanti juga yang memilih Presiden. Juga masih ada lagi uji di legislatif (DPR),” kata Dedi.
Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo (kiri) menunjukkan petisi dari sekitar 1.000 pegawai KPK yang menolak calon pimpinan KPK bermasalah di kantor KPK, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Jikapun nantinya DPR memilih atau tidak memilih wakil Polri untuk menduduki kursi komisioner KPK 2019-2023, kata Dedi, pun itu merupakan hasil dari proses penyaringan yang sudah berjalan dengan baik. Dari 10 nama ajuan Pansel kepada Presiden, nantinya DPR akan memilih resmi lima nama komisioner KPK untuk periode empat tahun mendatang.