REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Draf terakhir Rencana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tetap mempertahankan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, penghinaan presiden dan wakil presiden berupa delik aduan yang dilakukan langsung oleh Presiden dan Wakil Presiden.
Penghinaan Presiden dan wakil presiden sendiri diatur dalam Pasal 218 dan 219. Pasal 218 ayat 1 menyebutkan, setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Sedangkan, pasal 218 ayat dua menyebut, suatu perbuatan tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Sedangkan di pasal 219, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman, yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Keharusan delik aduan dalam pidana penghinaan presiden disyaratkan dalam Pasal 220.
Ayat satu Pasal tersebut berbunyi, tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. "Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh kuasa Presiden atau Wakil Presiden," demikian bunyi ayat dua Pasal 220.
Anggota Panitia Kerja RKUHP Arsul Sani menyatakan, pasal itu tetap dipertahankan dengan memperhatikan masukan berbagai pihak. Pasal itu sempat menimbulkan polemik lantaran dianggap mengancam demokrasi. Lebih lagi, pasal penghinaan Presiden pernah dibatalkan oleh MK pad 2006.
"Akhirnya, jalan tengahnya, DPR dan pemerintah sepakat bahwa kita tidak boleh menabrak putusan MK. Jadi tetap diatur bahwa itu harus delik aduan," kata Arsul.
Anggota Komisi III DPR RI itu juga menyebut, penghinaan untuk presiden hukumannya lebih tinggi daripada pasal penghinaan terhadap orang biasa. Mengingat, Presiden adalah representasi langsung pilihan rakyat Indonesia.
Untuk diketahui, MK membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden lewat putusannya pada 2006. Pasal itu dinilai majelis hakim MK bertentangan dengan semangat demokrasi. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie kala itu menyebut pencabutan pasal penghinaan presiden/wakil presiden dalam putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 karena tidak sesuai dengan peradaban demokrasi.
Putusan MK itu atas permohonan yang diajukan Eggy Sudjana. Kala itu, Eggy dililit kasus penghinaan presiden karena menyebut Presiden SBY menerima sejumlah gratifikasi. MK mengabulkan permohonan itu.