Kamis 22 Aug 2019 13:04 WIB

Siaga Darurat Kekeringan di Tasikmalaya Diperpanjang

Ada 109 titik di 16 kelurahan dan 9 kecamatan di Tasikmalaya yang dilanda kekeringan

Rep: Bayu Adji P/ Red: Nidia Zuraya
kekeringan - ilustrasi
kekeringan - ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Musim hujan yang diperkirakan datang terlambat membuat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Tasikmalaya mengambil sikap. Masa tanggap darurat bencana kekeringan yang semula akan selesai pada akhir Oktober 2019, akan diperpanjang.

Kepala Pelaksana BPBD Kota Tasikmalaya Ucu Anwar mengatakan, pihaknya memperpanjang masa siaga darurat kekeringan di Kota Tasikmalaya selama 10 hari, terhitung sejak 31 Oktober. Hal itu didasari informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terkait mundurnya awal musim hujam.

Baca Juga

"Sejatinya kita 31 Oktober selesai siaga darurat kekeringan selesai. Tapi dengan info BMKG kita akan perpanjang 10 hari ke depan," kata dia, Kamis (22/8).

Ucu menjelaskan, BPBD telah memetakan lokasi yang rawan kekeringan di wilayahnya. Sedikitnya ada 109 titik di 16 kelurahan dan sembilan kecamatan yang sudah mengalami kekeringan.

Ia menambahkan, sejak Juli 2019 BPBD juga telah mendistribusikan sekitar  sejuta liter air bersih kepada warga. Sekitar 6.926 kepala keluarga (KK) 22.468 jiwa telah menerima bantuan air bersih tersebut.

"Kita akan terus salurkan air bersih. Semoga hujan cepat turun, dan kekeringan tidak menjadi potensi konflik warga," kata dia.

Salah seorang warga Kelurahan Sukajaya, Kecamatan Purbaratu, Kota Tasikmalaya, Neni (48 tahun) mengatakan, sudah sejak tiga bulan terakhir masyarakat di wilayahnya mengalami kesulitan air bersih. Sumur-sumur di rumah, yang dalamnya hingga 12 meter, sudah tidak lagi mengalirkan air.

"Biasanya ambil dari bawah, mata air. Paling sehari sanggup dua ember," kata perempuan yang tinggal sendiri di rumahnya itu.

Ia mengatakan, untuk mengambil air itu warga harus berjalan kaki melewati jalan yang konturnya naik turun. Meski tak sampai satu kilometer, ia mengaku kesulitan jika harus melakukannya setiap hari.

Menurut dia, hanya air yang berada di tempat itu yang masih layak dikonsumsi. Namun, ketika siang hari air di tempat itu sudah tak lagi keluar. Karena itu, warga harus bergantian mengambilnya.

Jika air di tempat itu sudah habis, terpaksa harus mengambil ke Sungai Citanduy yang jaraknya bisa sekitar  5 kilometer. "Daripada gak minum, ya mending ambil air," kata dia.

Warga lainnya, Solehudin (32) mengatakan, kekeringan selalu melanda wilayahnya setiap musim kemarau. Ketika air sumur tak lagi mengalir, warga harus mengambil air jauh di mata air dan harus berebutan.

Ia menjelaskan, ada tiga sumber air di Desa Sukajaya. Namun, hanya tinggal dua mata air yang masih dimanfaatkan warga ketika musim kering tiba.  "Yang satu sudah kotor dan bau.  Tersisa dua, itu berebutan karena kira-kira ada hampir 500 KK kekeringan," kata dia.

Sebelumnya, Kepala BMKG Bandung Tony Agus Wijaya mengatakan, musim kemarau 2019, curah hujan di bawah normal. Menurut dia, terdapat gangguan pola hujan dikarenakan suhu laut lebih dingin divanding biasanya.

"Ini menyebabkan curah hujan berkurang 15 persen dari normalnya," kata dia.

Ia menambahkan, BMKG juga memrediksi awal musim hujan juga akan mundur sekitar 10-20 hari dari waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Manurut dia, hujan baru akan terjadi secara bertahap mulai September. Sementara musim kemarau berganti ke penghujan diperkirakan baru akan terjad pada Oktober.

Ia mengatakan, ada beberapa upaya yang disiapkan untuk menanggulangi bencana kekeringan yang telah disiapkan. Beberapa di antaranya dengan penyaluran air bersih, mencari sumber mata air dengan pompa, dan juga ada dengan hujan buatan.

Namun untuk membuat hujan buatan, ia menjelaskan, harus terdapat debit awan yang mulai tumbuh. "Kemungkinan kalau ada potensi awan, segera kita informasikan ke pihak terkait," kata dia.

Ia menyebutkan, wilayah yang paling parah terdampak kekeringan berada di utara Jawa Barat. Berdasarkan data BMKG yang diperbarui pada 20 Agustus, terdapat beberapa kecamatan mulai dari Karawang hingga Cirebon yang lebih dari 60 hari tak terjadi hujan. Akibatnya, jika tidak ada sumber air, bisa berdampak kekeringan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement