Kamis 22 Aug 2019 08:03 WIB

Kisah Mahasiswa Papua: Kendala Bahasa dan Satai Maranggi

Pelajar menengah dari Papua merasa nyaman.

Puteri mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Yenny Wahid (kiri) bersama sejumlah mahasiswa asal Papua menyanyikan lagu Indonesia Raya saat ziarah ke makam Gus Dur di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Rabu (21/8/2019).
Foto:
Anggota DPR Jimmy Demianus Ijie berjalan mendekati Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan 10 Surabaya, Jawa Timur, Rabu (21/8/2019).

Satai Maranggi dan Seblak

Di luar kalangan mahasiswa, para pelajar dari Papua sejauh ini masih merasa nyaman beraktivitas. "Kami sangat betah tinggal di Purwakarta. Warganya ramah-ramah dan kulinernya enak-enak," ujar Naomi Margareta (16 tahun), pelajar Kabupaten Waropen, Papua, kepada Republika, Rabu (21/8). Ia mengatakan, sejak dua tahun terakhir dia bersama 18 pelajar lainnya menimba ilmu di SMK Kesehatan Mutiara Bangsa Purwakarta.

Mace yang menggemari panganan satai maranggi dan seblak ini menuturkan, selama bersekolah dan tinggal di asrama tidak merasa diperlakukan rasialis. "Bahkan, kami sudah bisa mengucapkan bahasa Sunda meskipun baru sedikit-sedikit. Seperti, kumaha damang (apa kabar)," ujar pelajar yang ingin menjadi psikolog ini dengan nada bahagia.

Pelajar lainnya, Mailan Maria Way (16 tahun) asal Kota Sorong, Papua Barat, juga mengatakan selama dua tahun tinggal di Purwakarta, dia merasa aman dan tenang. Persoalan di Surabaya, Jawa Timur, menurutnya tidak berdampak pada pelajar Papua.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, selama ini tindakan persekusi dan rasialisme memang diterima para mahasiswa. Sebab itu, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik meminta kepolisian mengusut tuntas kasus persekusi dan rasialisme yang dialami mahasiswa Papua. “Itu mesti diusut," katanya pada Republika, Rabu (21/8).

Komnas HAM menyayangkan aparat keamanan, baik Polri dan TNI yang membiarkan terjadinya insiden pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. "Tidak semestinya yang bukan penegak hukum (ormas) ikut terlibat dalam proses penegakan hukum. Itu sepenuhnya wewenang polisi, tapi disesalkan karena ada yang lain (ormas)," ujar Taufan.

Komnas HAM mengingatkan, para pelaku umpatan bernada rasialisme dapat dikenai hukuman berlandaskan aturan hukum yang berlaku. "Untuk rasialisme, bisa diselidiki dengan menggunakan Undang-Undang Pencegahan Diskriminasi Berdasarkan Ras dan Etnis," katanya.

Sejumlah ormas mengepung asrama mahasiswa Papua di Surabaya disulut teronggoknya bendera merah putih di selokan di depan asrama. Massa juga meminta penghuni asrama mengibarkan bendera merah putih di Hari Kemerdekaan RI.

n bowo pribadi/silvy dian setiawan/ita nian winarsih/rizky suryarandika/antara ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement