Kamis 22 Aug 2019 08:03 WIB

Kisah Mahasiswa Papua: Kendala Bahasa dan Satai Maranggi

Pelajar menengah dari Papua merasa nyaman.

Puteri mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Yenny Wahid (kiri) bersama sejumlah mahasiswa asal Papua menyanyikan lagu Indonesia Raya saat ziarah ke makam Gus Dur di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Rabu (21/8/2019).
Foto: Antara/Syaiful Arif
Puteri mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Yenny Wahid (kiri) bersama sejumlah mahasiswa asal Papua menyanyikan lagu Indonesia Raya saat ziarah ke makam Gus Dur di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Rabu (21/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, Aksi protes di Papua dan Papua Barat tak lepas dari nasib yang dialami para mahasiswa asal Papua yang menuntut ilmu di berbagai daerah lain, utamanya di Pulau Jawa. Sejauh ini, sebagian mahasiswa Papua masih merasa ketakutan beraktivitas.

Di Kota Semarang, sejumlah mahasiswa asal Papua mengatakan masih kerap didatangi aparat kepolisian belakangan. “Mereka datang menanyakan KTP dan identitas lainnya serta menanyakan asal-usul para mahasiswa,” ujar Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Semarang, Simon Douw, di Semarang, Rabu (20/8).

Menurut dia, jumlah mahasiswa asal Papua yang menuntut ilmu di Kota Semarang mencapai sekitar 500 orang. Setelah terjadinya insiden-insiden belakangan, sebagian mereka merasa keberadaannya ikut terus diawasi. “Sehingga secara psikologis, sejumlah mahasiswa Papua tertekan dan beberapa di antaranya masih ragu-ragu untuk kembali melakukan aktivitasnya, terutama jika bertemu dengan aparat,” kata Simon.

Menurut Simon, tidak hanya asrama mahasiswa Papua yang terus diawasi dan didatangi aparat, tetapi juga beberapa kontrakan warga Papua di Kota Semarang. “Kami minta diberikan kebebasan sehingga bisa tetap beraktivitas tanpa merasa takut atau trauma seperti sebelumnya,” ujar Simon.

Sementara di Surabaya, mahasiswa di asrama Papua, lokasi terjadinya insiden ucapan rasialis, masih enggan menemui pihak luar. "Tadi waktu saya ke asrama sempat ditemui dua mahasiswa Papua, tetapi hanya di depan pagar asrama. Saya tidak diperbolehkan masuk," kata Camat Tambaksari M Ridwan di Surabaya, Selasa (20/8).

Penolakan bertemu juga dialami Wakil Ketua DPR Fadli Zon, bahkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Republika yang menyambangi lokasi itu juga ditolak kedatangannya. "Kita tidak bisa memaksa. Itu hak mereka menolak," ujar M Ridwan.

Sementara, Yohanis Wateriri (22), salah satu mahasiswa Papua di Yogyakarta, mengatakan, ia menerima perlakuan yang baik selama di Yogyakarta. "Sampai saat ini masih aman, dari pihak masyarakat memerima kami dengan baik, universitas juga menerima dengan baik," kata Yohanis saat ditemui Republika di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Yogyakarta, Rabu (21/8).

Mahasiswa jurusan arsitektur ini menceritakan, sejak ia pertama kali datang ke Yogyakarta, memang ada kendala yang ia hadapi. "Kalau ngobrol sama orang, bahasa kita susah dipahami. Dialek kita bicaranya terlalu cepat," ujar Yohanis. Namun, seiring berjalanya waktu, hal tersebut sudah tidak jadi masalah.

Ia berpesan kepada seluruh mahasiswa Papua, baik di Yogyakarta maupun daerah lain di Indonesia, agar bisa lebih bijak dalam menyikapi kericuhan yang terjadi. "Kita sebagai mahasiswa harus bersikap seperti seorang intelektual dan tetap beraktivitas sebagai mahasiswa," katanya.

Sementara itu, Ketua Forum Mahasiswa Papua (Formapa) UKDW, Alfano Kiryoma (18), juga mengatakan belum ada laporan dari anggotanya yang menerima perlakuan tidak menyenangkan dari masyarakat Yogyakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement