Senin 09 Sep 2019 07:27 WIB

Kala Yenny Menyanggah Benny

Kita (di Jayawijaya) anggap mereka yang datang dari luar Papua sebagai keluarga.

Wali Kota Sorong, Lambertus Jitmau (empat kanan) bersama Forkopimda membawa bendera Merah Putih menyerukan perdamaian di Lapangan Hokky Kota Sorong, Papua Barat, Jumat (6/9/2019).
Foto: Antara/Olha Mulalinda
Wali Kota Sorong, Lambertus Jitmau (empat kanan) bersama Forkopimda membawa bendera Merah Putih menyerukan perdamaian di Lapangan Hokky Kota Sorong, Papua Barat, Jumat (6/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, Gaung kerusuhan di Papua dan Papua Barat tak lagi hanya menguar di Tanah Air. Aksi-aksi penolakan rasialisme yang sebagian berujung kerusuhan di beberapa wilayah itu juga menjadi sorotan media-media luar negeri. Dalam sengkarut tersebut, isu kemerdekaan Papua kembali muncul ke permukaan.

Sejauh ini, pemerintah pusat di Jakarta dengan tegas menudingkan tangan ke Benny Wenda, tokoh pendorong kemerdekaan Papua yang saat ini tengah berdiam di Oxford, Inggris. Pemerintah menilai Benny punya peran memicu sentimen prokemerdekaan dalam aksi-aksi di Papua.

Akhir pekan lalu, ia dihadap-hadapkan dengan Zannuba Ariffah Chafsoh alias Yenny Wahid yang merupakan putri presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid. Gus Dur, panggilan akrab Abdurrahman Wahid, terkenal dengan metode halusnya mendekati Papua saat gejolak prokemerdekaan juga mengemuka di awal milenium.

Benny dan Yenny saling bantah dalam acara The Stream yang disiarkan saluran televisi Aljazirah, akhir pekan lalu. Dalam acara itu, Benny menegaskan pandangannya bahwa Papua dan Papua Barat adalah wilayah jajahan Indonesia.

Ia menilai wilayah itu sedianya telah memerdekakan diri sendiri pada 1961. Menurut Benny, secara geografis, etnis, dan kultural, Papua juga berbeda dengan kebanyakan wilayah di Indonesia.

“Kami tak pernah jadi bagian Indonesia. Itulah mengapa kami dipanggil 'monyet'," kata Benny. Hal itu ia sampaikan terkait insiden rasial dalam pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya yang kemudian memicu aksi-aksi antirasialisme di seantero Papua dan Papua Barat.

Ia juga mengklaim ratusan ribu putra asli Papua telah dibunuh sejak Indonesia mulai mencaplok wilayah itu melalui kekuatan militer pada 1963. Aksi-aksi kekerasan itu kemudian berlanjut pada masa Orde Baru. Ia juga menyangkal keabsahan Perjanjian New York pada 1962 serta Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969.

Pandangan ini disanggah Yenni Wahid. Yenny menekankan, kedua momen itu sah sebagai alasan masuknya Papua ke Indonesia. “Papua adalah bagian dari Indonesia," kata Yenny dalam bahasa Inggris yang fasih.

Yenny juga menyangkal klaim Benny soal perbedaan etnis dan geografis serta kebudayaan Papua dan sebagian besar warga Indonesia sebagai alasan berpisah. “Contohnya Amerika Serikat, ada banyak orang dari banyak etnis dan latar belakang, tetapi mereka mampu hidup bersama-sama dengan damai," kata Yenny.

Dalam beberapa kali kesempatan, Benny terus mencoba memotong penjelasan Yenny. Benny sempat juga kena semprot dari pembawa acara Femi Oke terkait upayanya memotong pembicaraan.

Benny kerap memotong, terutama saat Yenny menjelaskan soal pembangunan di Papua dan persoalan pengelolaan otonomi daerah yang bermasalah. Benny berkeras, “Papua tak ingin pembangunan, Papua ingin kemerdekaan!”

Perkara kekerasan di Papua, Yenny menekankan, pelakunya bukan TNI dan Polri saja. Yenny menilai kelompok separatis bersenjata yang sampai saat ini masih beroperasi juga banyak melakukan kekerasan.

Yenny menekankan, kecaman atas perilaku rasialisme tak hanya di Papua dan Papua Barat. Warga Indonesia lainnya juga menginginkan hal serupa. “Saya kira, saya dan Benny bisa sepakat bahwa kami berdua ingin kondisi yang lebih baik untuk orang Papua, kesejahteraan untuk orang Papua, demokrasi untuk Papua. Caranya adalah berdialog mendengarkan satu sama lain," tutur Yenny.

Pada akhir acara, Benny dan Yenny tak mencapai kesepakatan. Benny tetap berkeras bahwa referendum adalah satu-satunya jalan mencapai kedamaian di Papua. Di sisi lain, Yenny menolak hal itu dan menekankan bahwa persoalan di Papua sangat kompleks serta membutuhkan dialog.

“Kami mencoba memahami konflik Papua. Papua sangat beragam. Ada sekitar 157 suku di sana dan mereka punya bahasa dan adat masing-masing," ujar Yenny.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement