Kamis 22 Aug 2019 06:30 WIB

Kepolisian Hanya akan Usut Dugaan Rasialisme oleh Sipil

Kepolisian bagi-bagi tugas untuk penanganan kasus rasialisme mahasiswa Papua.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Teguh Firmansyah
Petugas kepolisian dan TNI melakukan pengamanan saat terjadi aksi protes di Mimika, Papua, Rabu (21/8/2019).
Foto: Antara/Sevianto Pakiding
Petugas kepolisian dan TNI melakukan pengamanan saat terjadi aksi protes di Mimika, Papua, Rabu (21/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian berkomitmen menyelesaikan kasus rasialisme yang dialami warga Papua di Surabaya, Jawa Timur (Jatim) pekan lalu. Namun kepolisian tak bersedia melakukan penyelidikan terkait ungkapan kebencian yang diduga dilakukan oleh aparat berseragam Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat insiden pengepungan asrama mahasiswa Papua, di Jalan Kalasan, Surabaya, Sabtu (17/8) kemarin.

Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo, menerangkan kepolisian saat ini sedang membagi tugas dalam kasus rasialisme yang membawa dampak kerusuhan di Papua dan Papua Barat, sejak Senin (19/8). Polda Jatim akan menangani kasus kebencian dan pelecehan etnis yang terjadi di asrama Papua Surabaya.

Baca Juga

“Di Polda Jatim kasus ini sedang ditangani,” ujar Dedi di Mabes Polri, Jakarta Selatan (Jaksel), Rabu (21/8).

Namun kata dia, dalam penanganan kasus tersebut, kepolisian hanya akan menyelidiki dugaan ucapan kebencian dan pelecehan rasialisme yang dilakukan oleh warga sipil. “Polri dalam kasus ini, hanya fokus pada penegakan hukum terhadap warga negara sipil. Bukan yang lain (terduga anggota militer),” terang Dedi.

Sedangkan tugas yang lain, kata Dedi, ada di Bareskrim Mabes Polri yakni terkait penanganan dugaan penyebaran informasi yang provokatif di media sosial atas peristiwa di Surabaya. Penyebaran info tak berdasar itu menyulut aksi protes di Papua dan Papua Barat.

Menurut Dedi, informasi yang disampaikan sejumlah akun di media sosial, ada yang bersifat kebohongan. Seperti informasi tentang adanya mahasiswa Papua yang meninggal dunia saat pengepungan dan penangkapan 43 orang di asrama Surabaya.

Menurut Dedi, sebaran informasi yang tak benar itu, menjadi salah satu pemicu utama gelombang massa di Papua dan Papua Barat. “Ada konten-konten yang disebarkan melalui medsos (media sosial), baik itu di Twitter, Facebook, Youtube, dan juga Instagram yang sifatnya memancing dan memprovokasi keadaan,” sambung Dedi.

Tim Siber Bareskrim Polri, kata Dedi, juga melibatkan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), serta Badan Sandi Negara (BSN), dalam penanganan akun-akun tersebut. “Beberapa akun sudah ada yang diprofiling (diidentifikasi) asli dan diketahui keberadaannya. Ada juga yang beberapa anonim, tetapi sudah diketahui identitasnya,” ujar Dedi.

Ia mengatakan, jika hasil penelusuran tim siber menemukan adanya tindak pidana, penegakan hukum akan dilakukan. “Karena akun-akun ini merasahkan dan memicu aksi-aksi yang terus berlanjut di wilayah Papua, dan Papua Barat,” terang Dedi.

Sejak Senin (19/8) gelombang massa aksi protes terjadi di kota-kota utama Papua dan Papua Barat, seperti Sorong, Manokwari, Jayapura, Fakfak, dan Timika. Aksi protes tersebut, sebagai bentuk solidaritas atas insiden pengepungan dan penggrebekan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, pun juga Malang, serta di Semarang.

Aksi protes di Bumi Cenderawasih, masih terjadi sampai Rabu (21/8) sore waktu setempat.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement