REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Selatan (Korsel) berencana mengirim satu unit Angkatan Laut (AL) termasuk kapal perusak ke selatan Hormuz. Mereka akan bergabung dengan kekuatan militer pimpinan Amerika Serikat (AS) di Timur Tengah untuk menjaga lalu lintas kapal tanker minyak di selat tersebut.
"Tentu jelas bahwa kita harus melindungi kapal-kapal kita yang melewati Selat Hormuz. Jadi, kita harus mempertimbangkan beragam kemungkinan," ujar Ro- Jae-cheon, deputi juru bicara Kementerian Pertahanan Korsel, Senin (29/7). Namun, menurut dia, pemerintah belum membuat keputusan.
Menurut sumber harian the Maekyung yang tak disebutkan namanya, Korsel memutuskan untuk mengirim unit antipembajakan Cheonghae beserta helikopter ke Hormuz. Selama ini unit tersebut beroperasi di perairan Somalia.
Unit Cheonghae berpangkalan di Teluk Aden sejak 2009. Unit ini bekerja sama dengan AS, Eropa, dan negara-negara Afrika untuk menangani pembajakan di kawasan tersebut. Data pada 2018 menyebutkan, unit tersebut mengoperasikan kapal perusak berbobot 4.500 ton, helikopter antikapal selam Lynx, dan tiga perahu motor.
Sementara, Inggris telah mengirim kapal perang HMS Duncan ke Teluk Persia untuk mengawal kapal-kapal tanker berbendera Inggris saat melintasi Hormuz. “Kapal penghancur Tipe 45, HMS Duncan, akan bekerja dengan kapal Frigate HMS Montrose Tipe 23 sampai dia keluar dari tugas pada akhir Agustus, untuk memastikan ketersediaan kapal untuk terus mendampingi kapal dagang,” kata Kementerian Pertahanan Inggris dalam sebuah pernyataan pada Ahad (28/7).
Pada 4 Juli lalu, Inggris menahan kapal tanker Grace 1 milik Iran. Kapal itu ditangkap di Selat Gibraltar karena diduga hendak mengirim pasokan minyak ke Suriah yang berada di bawah sanksi Uni Eropa (UE). Iran mengancam akan membalasnya. Berikutnya, Iran menahan kapal Stena Impero yang bendera Inggris pada 19 Juli.
Sementara itu, ketegangan antara Iran dan AS meningkat sejak 2018 lalu AS menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). AS kemudian menjatuhkan kembali sanksinya atas Iran.
Serangan di Hormuz beberapa bulan belakangan ini memperkeruh hubungan Iran dan AS. AS pun menyerukan para sekutunya untuk membentuk patroli bersama di Hormuz. Pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengajak Korsel, Jepang, Prancis, Jerman, Australia, dan negara lain untuk bergabung.
“Saya baru-baru ini menawarkan untuk melakukan perjalanan ke Teheran dan berbicara langsung kepada rakyat Iran. Pemerintahan (Iran) belum menerima tawaran saya,” cicit Pompeo di Twitter.
Tolak sanksi AS
Terkait JCPOA, Iran dan lima kekuatan dunia bertemu di Wina, Ahad (28/7). Pertemuan dihadiri wakil dari Iran, Jerman, Inggris, Prancis, Cina, Rusia, dan UE. Mereka bertekad menyelamatkan JCPOA yang ditandatangani 2015.
"Atmosfirnya terasa konstruktif dan perundingan berlangsung baik," ujar Deputi Menteri Luar Negeri Iran Seyed Abbad Araghchi seusai pertemuan. "Saya tidak bisa mengatakan bahwa kami telah menyelesaikan 'segalanya', tetapi semua pihak masih bertekad untuk menyelamatkan kesepakatan ini."
Kepala delegasi Cina, Fu Chong, mengakui ada sejumlah ketegangan dalam pertemuan. Namun, secara keseluruhan, atmosfir pertemuan terasa baik. “Akrab, juga sangat profesional," kata Fu.
Menurut Fu,semua pihak menentang keras sanksi yang dijatuhkan AS, khususnya dengan ruang lingkup sanksi yang diperluas. Mereka mendukung Cina untuk mempertahankan perdagangan normal dengan Iran, juga terkait dengan minyak.
(reuters/ap, ed: Yeyen Rostiyani)