REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyidik Senior KPK Novel Baswedan merespons habisnya masa kerja tim gabungan satuan tugas (satgas) penyelesaian kasus Novel Baswedan. Novel mengaku sejak awal sudah mengkritisi soal Satgas itu.
"Saya sudah katakan Satgas itu tidak sesuai yang kehendaki publik untuk mengungkap kasus penyiraman air keras yang menimpa saya. Justru yang saya inginkan tim gabungan pencari fakta (TGPF), atau tim pencari fakta yang tugasnya di bawah presiden agar independen," kata Novel kepada wartawan, Senin (8/7).
Jadi, menurut Novel, kalau akhirnya Satgas yang dibentuk itu tenggat waktunya selesai dan bisa dikatakan gagal sudah selayaknya digantikan TGPF. "Saya sudah prediksi sejak awal. Dan kalau sejak dulu sejak saya keluar dari RS di Singapura, sudah katakan kasus ini bisa diungkap bila dibentuk TGPF dari tim independen, daripada membentuk Satgas dari kepolisian," ungkapnya.
Novel mengungkapkan, mengapa TGPF dari tim independen itu penting. Menurut dia, ancaman teror ke KPK itu bukan hanya mengancam dirinya sendiri, tapi terhadap banyak orang di KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.
Pengungkapan kasus ini, jelas dia, akan membantu pengungkapan teror yang selama ini menimpa orang-orang KPK. Ia menegaskan, kasus penyiraman ini termasuk tim TGUPF ini akan terbentuk kalau presiden punya komitmen dan meletakkan pengaruh positifnya di sini. Kalau tidak ada komitmen presiden, menurut Novel, tentu akan sulit.
"Harapan saya setelah satgas ini selesai, apabila tidak bisa menemukan abuse of power itu, artinya indikasi dan dugaan yang dicurigai soal upaya pelemahan KPK selama ini telah terbukti," ujarnya.
Novel menjelaskan, selama ini serangan ke orang-orang KPK itu masih banyak terjadi. Bahkan, ia mengatakan, tim KPK yang ke daerah itu masih mendapatkan teror.
"Ini bukan masalah balas dendam atau marah atas aksi penyiraman air keras. TGPF ini justru penting, menjadi jalan mencari siapa sebenarnya yang melemahkan pemberantasan korupsi dan mengungkap siapa yang meneror KPK itu," ujarnya.